BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Selama ini, banyak orang merasa nyaman membuka cerita pribadi kepada chatbot seperti ChatGPT, mulai dari curahan hati soal percintaan, tekanan mental, hingga pertanyaan tentang hukum atau medis. Mereka mengira, layaknya bicara dengan sahabat virtual, semua itu bersifat rahasia.
Namun, pernyataan mengejutkan dari CEO OpenAI, Sam Altman, menyibak kenyataan pahit: percakapan dengan ChatGPT tidak memiliki perlindungan hukum dan bisa dijadikan bukti di pengadilan.
Dalam pernyataan publik baru-baru ini, Altman menegaskan bahwa percakapan pengguna dengan AI seperti ChatGPT dapat diminta secara legal melalui pengadilan. Artinya, jika ada kasus hukum baik sipil maupun pidana konten percakapan itu bisa digunakan sebagai alat bukti.
Ini menghapus anggapan bahwa percakapan dengan AI bersifat “private by design”. Faktanya, tidak ada perlindungan hukum seperti attorney-client privilege atau dokter-pasien privilege yang melekat pada interaksi dengan chatbot.
Sam Altman sendiri menyebut situasi ini sebagai “sangat kacau”. Menurutnya, dunia hukum tertinggal jauh dalam memberikan jaminan privasi terhadap teknologi AI.
Karena itu, ketika pengguna membagikan informasi sensitif, tidak ada jaminan hukum yang bisa melindungi mereka jika data itu diminta aparat hukum atau lembaga lain.
Dalam konteks hukum Amerika Serikat, regulasi mengenai AI masih dalam tahap awal. Ini membuat data pengguna menjadi zona abu-abu yang rawan dieksploitasi atau disalahgunakan dalam proses hukum.
Pernyataan Altman muncul di tengah sengketa hukum dengan The New York Times, yang menuntut OpenAI terkait pelanggaran hak cipta.
Baca Juga:
Perbandingan ChatGPT dan Grok AI yang Mencolok dari Keduannya
Dalam proses hukum, pihak NYT meminta OpenAI menyerahkan log percakapan pengguna. OpenAI menolak, menyebut permintaan itu berlebihan dan bisa mencederai privasi pengguna secara luas.
Namun ironisnya, meski OpenAI menolak, mereka secara hukum tetap bisa dipaksa oleh pengadilan jika tidak ada aturan hukum yang mengatur perlindungan lebih kuat atas data pengguna.
Jika preseden ini berlanjut, maka akan terbuka celah bagi institusi hukum lain untuk melakukan hal serupa. Bisa saja kelak data percakapan AI digunakan dalam kasus kriminal, penyelidikan pajak, perceraian, atau sengketa bisnis.
Hal ini menciptakan kekhawatiran mendalam, apakah kita masih bisa percaya sepenuhnya pada AI jika tidak ada jaminan bahwa kata-kata kita tidak akan diputarbalikkan di ruang sidang?
Pernyataan Sam Altman adalah tamparan keras bagi para pengguna AI. Meski teknologi ini tampak ramah, cepat, dan terasa seperti tempat curhat yang aman, kenyataan hukum berkata lain: apa yang Anda tulis bisa digunakan melawan Anda.
Tanpa kerangka hukum yang tegas, AI justru bisa menjadi alat yang mengikis privasi. Dan jika tidak segera ada regulasi, maka kepercayaan publik terhadap AI bisa runtuh bukan karena teknologinya buruk, tapi karena sistem hukumnya belum siap mengamankan pengguna.
(Budis)