BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Di tengah gempuran budaya populer dan tontonan digital, seni tradisi Benjang tetap mengakar kuat di sebagian masyarakat Bandung. Benjang yang kini dikenal sebagai seni hiburan rakyat, sejatinya lahir dari akar tradisi spiritual dan bela diri khas Sunda yang kaya makna. Perkembangan Benjang dari ritual sakral hingga menjadi pertunjukan publik bukanlah proses instan, melainkan perjalanan panjang yang menyesuaikan diri dengan zaman.
Benjang adalah seni pertunjukan yang memadukan unsur pencak silat, musik tradisional (gendang penca), dan atraksi adu kekuatan fisik yang menyerupai gulat tradisional. Dalam panggung-panggung rakyat, Benjang tampil dengan musik yang menghentak, penari yang mengenakan kostum mencolok, serta gaya bertarung yang memikat perhatian penonton.
Namun di balik itu semua, Benjang bukan sekadar hiburan. ia adalah simbol kearifan lokal masyarakat Tatar Sunda, khususnya di wilayah Bandung Timur seperti Ujungberung, Cibiru, hingga kawasan Cipadung.
Sejarah Benjang berakar pada praktik-praktik adat masyarakat Sunda yang berkaitan dengan keselamatan dan pengusiran bala. Kata Benjang sendiri diduga berasal dari kata bengang atau benjol, merujuk pada bentuk fisik setelah pertarungan, atau juga berasal dari kata beungeut jangkung (wajah tinggi), yang merujuk pada figur badut Benjang berkepala besar.
Pada awal kemunculannya, Benjang tidak dimainkan sembarangan. Ia menjadi bagian dari upacara ruwatan, yaitu ritual tolak bala untuk menolak nasib buruk dan menyucikan desa dari gangguan gaib. Dalam konteks tersebut, pertunjukan Benjang dilakukan oleh para jawara atau tokoh adat yang memiliki kemampuan spiritual dan beladiri tinggi. Mereka melakukan atraksi semacam adu tenaga bukan untuk tontonan, melainkan sebagai simbol perlawanan terhadap energi negatif.
Saat ini perubahan zaman dan melunaknya nilai-nilai spiritual masyarakat menjadi penyebab Benjang mulai mengalami pergeseran fungsi. Dari yang semula sakral, Benjang mulai dipertontonkan di ruang-ruang publik sebagai hiburan, terutama saat hajatan, sunatan, hingga peringatan hari besar nasional.
Namun begitu, unsur bela diri dan nilai-nilai etika tetap dipertahankan. Pencak silat sebagai pondasi utama Benjang tidak pernah dilepaskan, bahkan menjadi pusat dari pertunjukan itu sendiri.
Salah satu titik penting dalam popularitas Benjang adalah di era 1980-an hingga awal 2000-an, ketika kelompok-kelompok kesenian rakyat di wilayah Bandung Timur mulai kembali menghidupkan kesenian tradisional. Kelompok seni seperti Sanggar Ligar Hurip dan komunitas pencak silat di daerah Ujungberung menjadi pelopor dalam menggabungkan unsur penca, musik, dan pertunjukan Benjang yang lebih “modern” namun tetap menghormati nilai-nilai leluhur.
Ciri khas paling mencolok dari Benjang adalah kehadiran badut berkepala besar dan tubuh tambun yang menjadi ikon pertunjukan ini. Badut Benjang bukan hanya penghibur, tapi juga memiliki filosofi tersendiri. Sosoknya mewakili karakter rakyat kecil yang ceria, tangguh, dan berani meski tampak jenaka. Tak heran jika anak-anak sangat tertarik dengan figur badut Benjang, bahkan hingga kini dijadikan maskot dalam berbagai acara budaya di wilayah Bandung.
Kini, tantangan terbesar seni Benjang bukan lagi kekuatan fisik, melainkan kekuatan untuk bertahan di tengah arus globalisasi. Namun semangat masyarakat Bandung Timur untuk melestarikan tradisi ini tetap menyala. Kegiatan festival Benjang, pelatihan seni bela diri pencak silat berbasis sekolah, hingga masuknya Benjang dalam kurikulum muatan lokal, menjadi bukti bahwa tradisi ini belum akan punah.
Upaya digitalisasi dokumentasi pertunjukan Benjang juga mulai dilakukan oleh pegiat budaya muda. Mereka merekam, mempublikasikan, dan mendistribusikan pertunjukan Benjang di platform media sosial, agar generasi baru tidak melupakan akar budayanya.
Benjang bukan hanya seni bela diri atau hiburan rakyat biasa. Ia adalah narasi hidup masyarakat Sunda yang merekam jejak spiritual, sosial, dan estetika warganya dari masa ke masa. Dalam tiap pukulan gendang dan gerak silatnya, tersimpan sejarah panjang perjuangan budaya lokal yang terus tumbuh meski zaman terus berubah. Bandung Timur patut bangga, karena lewat Benjang, mereka masih punya alasan untuk berdiri tegak sebagai penjaga tradisi.
(Daniel Oktorio Saragih/Magang/Aak)