Antara Tugas, Tagihan dan Tuntutan Demokrasi: Catatan Mahasiswa Gen Z

Editor:

[galeri_foto] [youtube_embed]

Bagikan

TANJUNGPINANG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Diantara halaman diktat kuliah yang menumpuk dan notifikasi pembayaran UKT yang terus berdatangan, mahasiswa Gen Z menyusun napas. Mereka bukan sekadar pengisi kursi di ruang kuliah, tapi juga saksi dan pelaku zaman yang berubah cepat.

Satu kaki mereka tertanam di ruang kelas, belajar teori dan konsep, sementara kaki lainnya berpijak di jalanan, di media sosial, dan di arena politik yang kian gaduh. Mereka bukan sekadar mahasiswa, tapi generasi yang tumbuh dalam gelombang informasi deras, ekonomi tak menentu, dan sistem pendidikan yang kerap terasa menjauh dari semangat keadilan.

Menurut survei Deloitte Global 2024, sekitar 31% Gen Z di Indonesia memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah karena biaya yang dianggap terlalu tinggi. Lebih dari itu, 39% lainnya menyatakan tekanan finansial sebagai hambatan utama dalam menyelesaikan studi. Ini bukan angka yang kecil. Ini suara ribuan mahasiswa yang menggigit bibir tiap kali membuka aplikasi pembayaran kampus, atau menunduk saat orang tua mereka berkata, “Sabar ya, nanti Bapak usahakan.”

Di Universitas Gadjah Mada, hasil riset yang dilakukan BPPM Balairung terhadap 722 mahasiswa angkatan 2023 menunjukkan bahwa 70,7% di antaranya merasa UKT yang mereka bayar tidak adil. Sementara 52,1% mendesak agar sistem verifikasi UKT dilakukan dengan lebih transparan dan manusiawi.

Angka-angka ini hanya sebagian dari gunung es. Di berbagai PTN lain, seperti Universitas Indonesia dan ITS, mahasiswa melaporkan bahwa UKT naik hingga 300–500%, bahkan tanpa penjelasan yang memadai. Sebuah kondisi yang membuat kuliah tidak lagi terasa sebagai hak, tapi jadi semacam “jasa premium” yang tidak semua orang bisa nikmati.

Laila, mahasiswi Ilmu Pemerintahan di UGM, mencurahkan kegelisahannya, “Di kelas kami diajari soal partisipasi dan demokrasi. Tapi ketika kami bersuara soal kebijakan kampus yang tidak adil, suara kami seperti diabaikan.” Budi dari ITB menyatakan bahwa tugas akademik yang berat sering kali harus dibarengi dengan kekhawatiran soal biaya hidup dan UKT.

“Bayar listrik di kosan telat, beli buku telat, tapi tugas harus dikumpul tepat waktu. Rasanya kami sedang bertarung di dua medan sekaligus,” ungkapnya. Hal serupa juga dirasakan oleh Dina, mahasiswi UM Malang, yang melihat beban kuliah tidak hanya jadi masalah pribadi, tapi juga beban moral untuk keluarganya. “Orang tua saya harus kerja lebih keras demi UKT. Saya merasa bersalah kalau nilai saya turun,” katanya lirih.

Rizal, mahasiswa Unisma Malang, menyayangkan bahwa banyak kampus lebih sibuk merespon citra dibanding substansi. “Kami aktif di media sosial, tapi respons kampus masih minim. Forum-forum yang ada hanya formalitas, bukan ruang dialog yang sebenarnya,” keluhnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa suara mahasiswa belum sepenuhnya dianggap sebagai mitra dalam pembangunan kampus, melainkan lebih sering dianggap sebagai gangguan yang harus diredam.

Masalah ekonomi yang menimpa mahasiswa tidak hanya berhenti pada tagihan kampus. Data dari Badan Pusat Statistik (2024) mencatat bahwa sekitar 20,31% Gen Z Indonesia masuk kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training).

Itu berarti hampir satu dari lima anak muda Indonesia tidak sedang belajar, tidak bekerja, dan tidak menjalani pelatihan apa pun. Sementara GoodStats menyebutkan sekitar 9,9 juta anak muda usia 15–24 tahun terancam kehilangan arah karena minimnya akses terhadap pendidikan berkualitas dan pekerjaan yang layak. Ini bukan sekadar krisis pendidikan, tapi krisis masa depan.

Namun, di balik angka-angka yang muram itu, geliat mahasiswa tidak padam. Pada pertengahan Februari 2025, aliansi BEM SI meluncurkan gerakan nasional #IndonesiaGelap yang menyatukan ribuan suara mahasiswa dari berbagai kota.

Gerakan ini menolak penghematan anggaran pendidikan, pengesahan RUU TNI yang dianggap membungkam sipil, serta menuntut transparansi program pemerintah. Unjuk rasa terjadi serentak di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, hingga Jayapura. Di Papua, demonstrasi mahasiswa Uncen yang menolak kenaikan UKT sempat memanas dan berakhir ricuh. Di Bandung, mahasiswa ITB menyuarakan kekecewaan terhadap kebijakan pinjaman UKT berbunga tinggi, yang mereka sebut sebagai jebakan hutang di usia muda.

Di media sosial, suara mahasiswa tak kalah nyaring. Tagar seperti #KamiBersamaPendidikan dan #SuaraMahasiswa merajai lini masa. Dari TikTok hingga X, mereka menyuarakan keresahan melalui video edukatif, infografis, opini visual, bahkan teater digital. Aktivisme hibrid ini menjadi strategi baru dalam menembus dinding kebijakan. Mereka tidak lagi hanya mengandalkan orasi di jalan, tetapi juga menggerakkan opini publik di ruang digital. Ini bukan sekadar tren, tapi strategi bertahan dan menyerang di tengah era post-truth.

Berbagai akademisi menyebut bahwa kenaikan UKT dan kebijakan kampus yang tertutup merupakan gejala dari neoliberalisasi pendidikan, di mana kampus didorong menjadi badan usaha mandiri yang bergantung pada kantong mahasiswa.

“Kampus mulai kehilangan rohnya sebagai ruang ilmu dan berubah menjadi pasar,” ujar Dr. Arif Hidayat, dosen Sosiologi Pendidikan di UNJ. Hal ini diperparah oleh minimnya ruang dialog. Banyak kampus tidak menyediakan forum terbuka antara rektorat dan mahasiswa, sehingga keluhan lebih sering dilampiaskan lewat aksi jalanan atau media sosial ketimbang didengar secara langsung.

Tentu saja masalah ini tidak bisa diselesaikan dalam semalam. Tapi mahasiswa, akademisi, dan masyarakat sipil perlu menyusun ulang relasi antara pendidikan, keadilan, dan kebijakan. Usulan-usulan telah muncul dari berbagai kampus: audit UKT secara terbuka, sistem beasiswa yang lebih adil, hingga penyediaan ruang diskusi reguler antara mahasiswa dan pimpinan kampus. Ini bukan hanya soal uang, tapi tentang kepercayaan, rasa memiliki, dan hak untuk didengar.

Pada akhirnya, mahasiswa Gen Z bukan generasi yang manja atau apatis. Mereka hanya jenuh pada sistem yang tak kunjung berpihak, dan lelah dijadikan objek tanpa suara. Lewat aktivisme hybrid, mereka menciptakan jalan baru dalam memperjuangkan pendidikan yang adil dan demokratis.

Mereka tahu bahwa pendidikan bukan sekadar tangga untuk naik kelas sosial, tapi juga alat untuk membangun bangsa yang berpihak pada mereka yang tertinggal. Sebab, di balik setiap tugas yang dikumpulkan, setiap protes yang disuarakan, ada harapan yang belum mati: bahwa kampus, ruang kelas, dan panggung politik bisa menjadi satu, untuk generasi yang tak hanya belajar, tapi juga bertindak.

(Muhamad Syafiq Gusmalianto/Universitas Maritim Raja Ali Haji)

Baca berita lainnya di Google News dan Whatsapp Channel
Berita Terkait
Berita Terkini
Perbaikan Jalan pantura - Instagram Bupati Karawang Aep Syaepuloh jpg
Jalan Pantura Rusak Parah, Pemkab Karawang Nekat Lakukan Ini
pulau Aceh
Pemprov Klarifikasi soal Kabar Mualem, 'Walk Out' saat Bahas Polemik Laut Aceh
kebakaran cianjur
Kompor Mainan Picu Kebakaran di Cianjur, 4 Rumah dan Masjid Hangus
Meta-Scale-AI
Meta Tarik Scale AI ke Proyek Superintelligence Bernilai Rp230 Triliun
Korban pesawat Air India
Korban Selamat dari Tragedi Pesawat Air India, Bangkit di Tengah Mayat-mayat!
Berita Lainnya

1

Peringati Hari Lingkungan Hidup, PLN Dorong Kesadaran Kolektif Masyarakat dengan Gelar Aksi Bersih dan Salurkan Drop Box

2

Anak Main Masak-masakan, 3 Rumah dan 1 Masjid Terbakar di Cianjur

3

Program CSR PT Satria Piranti Perkasa Berikan Dukungan untuk Panti Asuhan di Karawang

4

Ketika Warna Memiliki Rasa dan Suara Memiliki Rupa: Eksplorasi Kognitif Persepsi Sinestesia

5

Minim Penerangan dan Picu Kriminalitas, Legislator Dorong Penambahan Lampu dan CCTV di Arcamanik
Headline
Timnas Indonesia
Hasil AVC Nations Cup: Timnas Indonesia Tundukkan Iran, Amankan Peringkat Kelima
Pergerakan Tanah Purwakarta
Pergerakan Tanah Purwakarta Ancam Tol Cipularang
Terancam Gagal Panen, Sawah Petani di Cianjur Diserang Wereng
Terancam Gagal Panen, Sawah Petani di Cianjur Diserang Wereng
anak terlantar di pasar kebayoran lama-1
Bocah Ditelantarkan di Kebayoran Lama Hari ini Jalani Operasi Tulang

Dapatkan fitur lebih lengkap di aplikasi Teropong Media.