BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Menghilangnya obat anti depresan Alfrazolam bagi peserta BPJS Kesehatan Kota Bandung, Jawa Barat, belakangan ini menimbulkan pertanyaan besar. Lalu, bagaimana kinerja BPJS Kesehatan, apotek, klinik, rumah sakit serta pihak terkait lainnya selama ini?
Padahal, pemerintah sudah menetapkan mekanisme pengadaan obat yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, guna menjamin kesehatan masyarakat ke depan.
Analis Obat dan Makanan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, Ricky Maranatha mengatakan, terkait obat-obatan yang dicover BPJS harus diusulkan terlebih dahulu pada tahun sebelumnya melalui aplikasi Imonev katalog milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Ia mencontohkan, data item obat yang dibutuhkan untuk tahun 2024, harus diusulkan pada tahun 2023.
“Jadi seperti itu mekanismenya. Untuk kasus Apotek Medika Antapani 2 di tahun 2023 usulan kebutuhan untuk 2024 untuk obat Alprazolam, mereka tidak mengusulkan,” kata Ricky Maranatha saat di konfirmasi Teropongmedia, Rabu (4/9/2024).
Oleh karena itu, kata Ricky, secara sistem otomatis apotek-apotek atau pelayanan kesehatan tidak akan mendapatkan obat tersebut karena tidak mengajukan usulan pada tahun sebelumnya.
“Misalnya dia (Faskes) mengusulkan atau tidak, kalau di tahun 2023 untuk 2024 tidak mengusulkan, otomatis pasti secara sistem mereka tidak akan mendapatkan obat tersebut, karena obat itu disediakan untuk yang mengusulkan saja,” ucapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, apotek Medika Antapani 2 mengklaim telah memesan obat alprazolam pada bulan Agustus 2024.
Ricky pun membongkar klaim tersebut, bahwa sebetulnya apotek Medika Antapani 2 mengaku telah memesan Alprazolam 0,5 miligram dan 1 miligram ke Pedagang Besar Farmasi (PBF).
“Nah setelah kita telusuri, ternyata data usulan obat tersebut tahun 2023 yang untuk pembelanjaan 2024, mereka tidak pernah mengusulkan untuk obat yang mereka minta yang ada di surat pesanannya,” terang Ricky.
Dirinya pun menjelaskan, terkait obat-obatan di e-katalog lebih murah dibandingkan dengan memesan tanpa e-katalog. Sebab, pemerintah secara regulasi telah melakukan proses pengadaan.
“Jadi ibaratnya tidak ada iklan, bisa ditekan (harga) pembelian bahan bakunya dipermudah, jadi harga satuan obatnya bisa lebih murah, makanya kalau dibandingkan harga yang ada di katalog dengan harga pasar pasti akan murah di katalog yang bekerjasama dengan BPJS diperkenankan untuk belanja melalui aplikasi katalog,” katanya.
Salah satunya yakni menekan biaya belanja obat agar pelayanan bisa lebih baik. Namun, terkait kasus medika Antapani 2, pada saat 2023 tidak pernah mengusulkan obat-obatan tersebut.
“Kalau misalnya pembelian di Medika Antapani 2 itu mengusulkan di rencana kebutuhan obat tahun 2023 untuk belanja 2024 obat tersebut ditolak, nah baru PBF yang salah, karena sudah diusulkan sebelumnya,” imbuhnya.
Ricky pun kembali menjelaskan, untuk memenuhi ketersediaan obat-obatan BPJS tersebut, pastinya apotek-apotek atau pelayanan kesehatan akan meminta untuk rencana kebutuhan obat untuk tahun depan.
“Misalnya sekarang 2024, mereka pasti nanti 2024 ini diminta rencana kebutuhan obat untuk 2025, karena nanti supaya Kemenkes mendapatkan data untuk diserahkan ke LKPP agar LKPP melakukan kontrak payung dengan perusahaan-perusahaan farmasinya,” jelasnya.
BACA JUGA: Alprazolam Pasien BPJS Menghilang di Bandung, Ombudsman RI Soroti Fenomena Obat Langka!
Adapun proses pengusulan untuk belanja di 2025 semua apotek atau pelayanan kesehatan harus mengusulkan terlebih dahulu di tahun 2024 agar Kemenkes bisa menyerahkan data tersebut ke LKPP.
“Nanti LKPP yang menentukan pemenang-pemenangnya, bisa jadi nanti kemungkinan ada beberapa pemenang, untuk satu item obar bisa jadi ada beberapa pemenang, jadi kemungkinan harganya juga bisa bervariasi,” pungkasnya.
(Rizky Iman/Usk)