BANDUNG,TM.ID: Perang sarung seolah sudah menjadi tradisi kaum remaja di setiap ketika memasuki bulan puasa. Namun ironisnya, fenomena perang sarung yang mulanya hanya candaan, belakangan berakibat maut hingga mengakibatkan hilangnya nyawa.
Adapun, perang sarung belakangan ini berkembang negatif menjadi model tawuran dengan menggunakan alat utama berupa sarung. Bagian ujung kain sarung biasanya diikat dengan diisi benda-benda keras, bahkan tajam untuk menaklukkan lawannya.
Dikutip dari berbagai sumber, benda-benda berbahaya yang menjadi “senjata” penakluk lawan pada ujung kain sarung itu biasanya berupa batu, gir motor, atau senjata tajam.
Cara bermainnya, dua kelompok atau dua orang yang saling berhadapan saling gebuk dengan sarungnya masing-masing ke tubuh lawan secara bergantian.
Apabila ada salah satu pemain yang mengangkat tangan sebagai tanda menyerah atau sarungnya terjatuh, artinya dia kalah, dan masing-masing kubu harus segera menghentikan permainan.
Mengutip laman Tribrata News Polri, perang sarung awalnya memang merupakan sebuah tradisi yang kaya akan makna dan nilai-nilai budaya. Namun kini mengerikan, perang sarung telah berubah menjadi tragedi modern yang memakan korban jiwa.
Kejadian maut akibat perang sarung baru saja terjadi di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Seorang remaja berusia 14 tahun meninggal dunia setelah terlibat perang sarung, yang terjadi pada Senin, (18/3/2024).
BACA JUGA: Perang Sarung Dilarang, Polres dan Pemkab Cianjur Bentuk Tim Khusus
Perubahan Mengerikan Tradisi Perang Sarung
Awalnya, perang sarung merupakan bagian dari tradisi kebersamaan umat Islam dalam menyambut bulan suci Ramadan.
Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini telah disalahartikan dan disalahgunakan, menyebabkan tawuran antar kelompok remaja dengan akibat yang memilukan.
Perang sarung memiliki akar sejarah yang dalam. Di masa lalu, setelah salat tarawih dan salat subuh, umat Islam sering mengadakan perang sarung sebagai bentuk kegembiraan menyambut bulan Ramadan.
Tradisi ini menjadi momen untuk mempererat hubungan antar sesama serta mengekspresikan rasa kebersamaan dan kegembiraan dalam beribadah. Namun, seiring dengan perubahan zaman dan pergulatan budaya, makna fenomena perang sarung telah bergeser.
Apa yang dulunya merupakan ekspresi kebersamaan dan kegembiraan, kini telah diubah menjadi ajang pertarungan fisik antar kelompok remaja.
Persaingan yang semestinya bersifat sportif dan penuh kebersamaan, kini telah menjadi bentuk kekerasan yang merenggut nyawa.
Kombes Pol Umi Fadilah Astutik, Kabid Humas Polda Lampung, menyatakan keprihatinannya atas perkembangan ini.
“Kami menyayangkan adanya korban jiwa akibat perang sarung yang semestinya menjadi bagian dari tradisi kebersamaan dan kegembiraan umat Islam dalam menyambut bulan Ramadan,” ujarnya.
“Kami menghimbau kepada seluruh masyarakat, khususnya para pemuda, untuk mengembalikan makna sejati dari perang sarung sebagai wujud kebersamaan dan kegembiraan dalam beribadah, bukan sebagai ajang kekerasan dan pertarungan yang berujung pada korban jiwa,” ungkap Kabid Humas.
Polda Lampung melalui Polres jajaran, telah mengamankan sejumlah remaja yang kedapatan akan melakukan perang sarung. Hal yang menunjukkan respons cepat dan tegas terhadap potensi terjadinya tindakan kekerasan.
“Remaja yang diamankan, dengan usia rata-rata belasan tahun. Ini menunjukan pentingnya peran penegak hukum dalam mencegah perilaku berbahaya di kalangan generasi muda.” kata Umi.
Kabid Humas menegaskan, untuk mengatasi masalah ini perlu adanya upaya bersama dari berbagai pihak termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat secara keseluruhan.
“Pentingnya mendidik generasi muda tentang bagaimana menjaga tradisi dengan baik dan tidak menyalahgunakan nilai-nilai budaya menjadi kunci untuk mencegah tragedi serupa terjadi di masa depan,” pungkasnya.
(Aak)