BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan bahwa ratusan ribu buruh terancam mendapat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) imbas pembatasan pasokan gas bumi murah atau Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
“Lebih dari 100 ribu pekerja di sektor penerima manfaat HGBT akan terdampak. Bila industri menurunkan kapasitas atau menutup pabrik, PHK tidak dapat dihindarkan,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (19/8/2025).
Produsen gas bumi mengumumkan adanya pembatasan pasokan gas bumi murah atau Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi sektor industri hingga 48 persen.
Febri menjelaskan bahwa pengumuman tersebut telah memberikan kekhawatiran terhadap sejumlah sektor industri. Pasalnya gas bumi memiliki peran vital sebagai bahan baku maupun sumber energi dalam proses produksi.
Sejumlah sektor industri pengguna gas bumi murah HGBT yang akan terdampak meliputi industri pupuk, kaca, keramik, baja, oleokimia, hingga sarung tangan karet. Adapun pembatasan pasokan HGBT berpotensi menurunkan utilisasi pabrik pada sektor tersebut.
Dampak terburuk dari pembatasan ini adalah penutupan usaha hingga badai pemutusan hubungan kerja (PHK). Kementerian Perindustrian pun mencatat sebanyak 134.795 pekerja dapat terancam kehilangan pekerjaan.
Febri merinci, PHK tersebut akan berdampak pada 10.420 pekerja industri pupuk, 23.006 pekerja industri petrokimia, 12.288 pekerja industri oleokimia, 31.434 pekerja industri baja, 43.058 pekerja industri keramik, 12.928 pekerja industri kaca, dan 1.660 pekerja industri sarung tangan karet.
Baca Juga:
PGN Prediksi Defisit Pasokan Gas Bumi di Jawa dan Sumatera hingga 2035
Pemerintah Lanjutkan Kebijakan Gas Bumi Murah (HGBT), Menuju Swasembada Energi
Selain masalah pembatasan pasokan, Ferbi juga menyoroti laporan pelaku industri terkait penyaluran gas bumi yang tidak stabil. Pasokan gas bumi murah atau HGBT yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) dengan harga sekitar USD 6,5 per MMBTU kerap mandek.
“Ini yang mengherankan. Pasokan gas harga di atas USD 15-17 lancar. Tapi, pasokan gas USD 6,5 tidak lancar. Jika terjadi pengetatan, harga melonjak hingga USD 15–17 per MMBTU,” ujar Febri, menambhakan bahwa hal ini akan menyebabkan industri terpaksa menghentikan mesin-mesin produksi.
“Dan untuk menyalakan kembali butuh waktu lama serta energi dan biaya lebih besar,” jelasnya.
Selain itu lonjakan harga gas juga akan memengaruhi harga produk akhir. “Jika bahan baku naik, otomatis harga produk juga naik. Akibatnya, daya saing industri nasional melemah dan kalah bersaing dengan produk dari luar negeri,” kata Febri.
Merespons kondisi ini, Kemenperin membentuk Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT untuk menerima laporan, keluhan, dan masukan dari para pelaku industri terkait kondisi gangguan pasokan gas bumi murah.
“Kami mendengar langsung jeritan pelaku industri. Dalam situasi seperti ini, Kemenperin tidak boleh tinggal diam,” tegas Febri.
(Raidi/Budis)