JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Sebuah video lawas yang memperlihatkan dugaan kekerasan terhadap hewan di Taman Safari Indonesia (TSI), Cisarua, Bogor, menjadi viral di berbagai platform media sosial sejak Rabu (23/04/2025).
Video yang bermula diunggah oleh aku Instagram @albiansyah_dox itu memicu penentangan jagat maya. Terlebih lagi, untuk pemerhati satwa
Diketahui, video itu merupakan rekaman tahun 1997 saat berkunjung ke Taman Safari. Dalam unggahan tersebut, ia menyatakan ada kenangan yang kurang menyenangkan yang terus membekas, yakni ketika ia melihat langsung aksi kasar salah satu petugas terhadap burung unta saat proses pemberian makan.
“Di antara sejumlah memori indah waktu itu, ada satu yg mengganjal di hati selama puluhan tahun: waktu ngelihat perlakuan salah satu oknum petugasnya terhadap burung unta di video ini,” tulisnya dalam keterangan unggahan.
Tayangan tersebut menunjukkan seorang pria, yang diduga petugas penjaga satwa, memperlakukan seekor burung unta secara tidak semestinya.
Meski insiden ini diduga terjadi lebih dari dua dekade lalu, rekaman tersebut tetap menuai kecaman karena dianggap mencerminkan praktik kekerasan terhadap hewan.
Video itu menambah buntut polemik dari Taman Safari yang belakangan dinarasikan ketidakmanusiaan terhadap para pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI).
BACA JUGA:
Kisah Tragis Mantan Pemain Sirkus OCI, Disetrum Hingga Makan Kotoran
Jadi Sorotan Dugaan Eksploitasi, Begini Sejarah Sirkus OCI Taman Safari
Diketahui sebelumnya, pemain sirkus cilik binaan riental Circus Indonesia (OCI) tidak digaji sejak 1970-an. Hal ini dibenarkan oleh Komisaris Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau. Anak pendiri Taman Safari dan OCI tersebut mengatakan pemain sirkus anak hanya diberi uang saku.
Tony mengungkapkan, Taman Safari Indonesia menganggap para pemain sirkus cilik di OCI seperti keluarga. Meski tak diberi upah, Tony menyebut pihaknya menjamin semua kebutuhan pemain sirkus anak, mulai dari pakaian, kebutuhan medis, hingga uang saku tiap pekan untuk belanja keperluan lain.
“Memang itu tidak diberi gaji, ya. Kami kan dulu juga enggak terima gaji, sama. Masih anak-anak masa terima gaji, gitu ya,” ujar Tony kepada sejumlah awak media di bilangan Melawai, Jakarta Selatan, Kamis (17/4/2025).
Tony menunjukkan kepada wartawan dokumentasi masa kecil para pemain sirkus. Terlihat video mereka saat di tenda sirkus, berwisata ke pantai, merayakan ulang tahun, hingga menikah. Ia mengklaim semua anak-anak tersebut berada dalam keadaan sehat dan tidak memiliki tubuh kurus.
“Jadi uang belanja ada, pakaian lengkap, kalau hari raya pasti dapat hadiah,” ucapnya.
“Ulang tahun dirayakan ramai-ramai. Itu biasa. Itu kehidupan keluarga besar.”
Pada 1970-an, Tony menghabiskan masa kecil bersama anak-anak pemain sirkus OCI, yang pada 2025 sudah berusia paruh baya. Ia mengklaim orang tuanya memang suka menampung anak-anak dari panti asuhan. Dari sanalah OCI menemukan anak-anak untuk dilatih sebagai pemain sirkus.
Sekitar lima dekade kemudian, para pemain sirkus yang sudah dewasa mengadukan dugaan eksploitasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada mereka selama di OCI. Sebelumnya, mereka sempat membawa kasus ini ke Komnas HAM. Pada 1997, Komisi menyatakan OCI telah melakukan sejumlah pelanggaran HAM terhadap anak-anak pemain sirkus.
Delapan perwakilan dari para korban menyambangi kantor Kementerian HAM di Jakarta Selatan pada Selasa, 15 April 2025. Sebagian besar adalah perempuan paruh baya. Mereka berdialog dengan Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, beserta dua direktur jenderal kementerian tersebut.
Mereka mengaku mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti dipukul, disetrum, dipaksa bekerja dalam kondisi sakit, dipisahkan dari anaknya setelah melahirkan, hingga dipaksa makan kotoran hewan. Tindak kekerasan, perbudakan, dan eksploitasi anak yang mereka sampaikan diduga terjadi sejak 1970-an oleh para pemilik OCI dan Taman Safari Indonesia.
Dalam kronologi yang ditulis oleh pendamping korban disebutkan bahwa pihak pemilik dan/atau pengelola OCI serta Taman Safari Indonesia diduga telah mengambil dan memisahkan lebih dari 60 anak berusia 2–4 tahun dari orang tua mereka.
Anak-anak tersebut kemudian diduga dipekerjakan tanpa upah, tidak disekolahkan, dan tidak diberi tahu identitas aslinya saat berusia 4–6 tahun.
Sementara itu, Tony yang mewakili keluarga pendiri OCI membantah tuduhan kekerasan yang disampaikan para korban. Ia menjelaskan bahwa saat itu anak-anak pemain sirkus hanya diberi pendisiplinan melalui pukulan, salah satunya menggunakan rotan, dan menyebut bahwa pemukulan seperti itu merupakan hal yang biasa terjadi.
(Saepul)