BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARD — Siapa yang tidak kenal dengan sensasi deg-degan saat membuka kotak misterius, berharap mendapatkan karakter favorit? Fenomena blind box kini menjadi perbincangan hangat, terutama di kalangan Gen Z. Istilah “Hidup itu seperti sekotak cokelat, kita tidak pernah tahu apa isinya,” terasa nyata melalui mainan dalam kemasan tertutup ini. Blind box berhasil menciptakan euforia yang menarik perhatian tidak hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa yang suka kejutan dan tantangan kecil dalam kehidupan mereka.
Asal mula blind box berasal dari Jepang pada tahun 1980-an, kemudian berkembang pesat di Tiongkok, hingga muncul brand besar seperti Pop Mart yang terkenal dengan koleksi mainan berkarakter unik. Daya tarik utama blind box terletak pada rasa penasaran “tidak tahu apa isi barang yang akan didapatkan”.
Sensasi ini memicu kesenangan tersendiri bagi para pembeli. Namun, di balik keseruan unboxing blind box ini muncul juga perdebatan. Blind box terkadang mendorong perilaku konsumtif impulsif, bahkan membuat pembeli terus ingin membeli demi melengkapi koleksi mereka. Lalu, apakah blind box sekadar hobi yang menghibur atau justru menjadi bentuk konsumsi emosional yang perlu dikendalikan
Dalam kehidupan dewasa yang penuh tekanan dan aktifitas, blind box menjadi hiburan kecil yang menyenangkan. Momen unboxing bukan hanya soal membuka kotak, tapi juga menjadi kesempatan “kembali menjadi anak kecil” yang membawa kebahagiaan sederhana.
Euforia ini semakin kuat dengan peran media sosial. Influencer dengan konten unboxing yang menarik berhasil menyebarkan rasa penasaran dan keinginan pada banyak orang. Video-video viral ini menciptakan efek domino yang memperluas daya tarik blind box.
Bagi sebagian orang, blind box juga menjadi bentuk self reward yaitu cara memberikan penghargaan pada diri sendiri atas sebuah pencapaian atau kerja keras. Hal ini pun menyebar ke ranah sosial, di mana kolektor saling berbagi momen unboxing mereka atau bahkan memamerkan koleksi sebagai aksesoris fashion.
Namun di balik popularitas blind box, ada sisi lain yang perlu diperhatikan terutama bagi Gen Z. Konten unboxing yang viral kerap memicu Fear of Missing Out (FOMO), mendorong orang untuk membeli secara impulsif tanpa pertimbangan matang.
Tren yang awalnya hanya hiburan ringan bisa berubah menjadi kebiasaan berbelanja yang sulit dikendalikan. Jika tidak dihadapi dengan bijak, hal ini berpotensi mengganggu stabilitas keuangan pribadi. Terutama bagi Gen Z yang rentan dipengaruhi oleh dorongan konsumtif sesaat. Pola belanja impulsif ini membuat batas antara hobi dan kebiasaan berlebihan jadi semakin sulit dikenali, terutama di tengah budaya konsumsi digital yang terus berkembang pesat.
Blind box mempunyai dua sisi, bisa jadi hobi menyenangkan tapi juga berisiko jadi candu. Kuncinya ada pada kemampuan mengontrol diri, memprioritaskan kebutuhan, dan menahan dorongan FOMO agar hobi ini tidak mengganggu keuangan pribadi.
Peran media sosial dan influencer sangat besar dalam membentuk cara Gen Z melihat tren ini. Konten yang terus bermunculan membuat tren semakin kuat dan sulit dihindari. Karena itu, penting untuk memiliki kesadaran kritis agar bisa mengikuti tren dengan bijak dan tidak terjebak dalam pola konsumsi impulsif yang merugikan.
Pada akhirnya fenomena blind box bukan hanya tren, tapi cerminan bagaimana generasi muda mencari kebahagiaan sederhana dalam kehidupan yang serba penuh tekanan. Blind box bisa menjadi sumber kesenangan, cara mengekspresikan diri, dan bentuk penghargaan atas pencapaian kecil.
Namun jika tidak dihadapi dengan bijak, hobi ini dapat berubah menjadi kebiasaan impulsif yang mengganggu keseimbangan hidup dan keuangan. Saat kita mampu menetapkan batasan, memprioritaskan hal penting, dan berpikir jernih, tren seperti blind box bisa tetap diikuti tanpa kehilangan kendali. Karena pada akhirnya, kebahagiaan yang sehat adalah kebahagiaan yang tidak mengorbankan diri sendiri.
Penulis:
Najla Muthia