JAKARTA,TM.ID: Erma Yulihastin, Ahli Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan bahwa fenomena angin tornado Rancaekek, Kabupaten Bandung Jawa Barat dengan tornado di belahan bumi utara Amerika Serikat (AS) memiliki kesamaan.
Fenomena angin puting beliung “tornado” Rancaekek tersebut memporak-porandakan apapun yang diterjangnya seperti bangunan, pepohonan, bahkan beberapa kendaraan truk-pun berjumpalitan.
Amukan angin toranado Rancaekek itu terjadi pada Rabu (21/2/2024) sore, yang juga menerjang wilayah sekitarnya seperti Kecamatan Cicalengka (Kab. Bandung) dan Jatinangor, Kabupaten Sumedang.
Adapun terjangan angin yang disebut-sebut sebagai tornado pertama di Indonesia ini menerjang di wilayah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang.
Dr. Ema Yulihastin sebagai Peneliti Ahli Utama Klimatologi dan Perubahan Iklim, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer-BRIN itu menyampaikan penegasan mengenaitornado ini di akun X (twitter)-nya pada Kamis (22/2).
“Struktur tornado Rancaekek, Indonesia, dibandingkan dengan tornado yang biasa terjadi di belahan bumi utara, Amerika Serikat. Memiliki kemiripan 99,99% alias mirip bingits!” tegas Ema.
BACA JUGA:Dampak Tornado Rancaekek: 534 Bangunan Rusak di Sumedang-Bandung
Bukan tanpa alasan, Ema pun mengunggah dua foto angin tornado Rancaekek dengan tornado AS sebagai perbandingan. Melihat gambarnya, pusaran angin tersebut nyaris sama dari sisi ukurannya.
Struktur tornado Rancaekek, Indonesia, dibandingkan dengan tornado yang biasa terjadi di belahan bumi utara, Amerika Serikat. Memiliki kemiripan 99,99% alias mirip bingits! pic.twitter.com/3vgxrSexQD
— Dr. Erma Yulihastin (@EYulihastin) February 22, 2024
Jauh-jauh hari Ema Yulihastin telah menyampaikan penjelasan mengenai cuaca ekstrem di Indonesia yang menunjukkan peningkatan signifikan belakangan ini.
Dikutip dari laman BRIN, Ema Yulihastin menarasikan hasil penelitiannya dengan judu artikel “Kajian Perubahan Iklim Tunjukkan Cuaca Ekstrem Alami Peningkatan Signifikan”
“BRIN melakukan kajian perubahan iklim (2021-2050) khusus wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI),” demikian petikan kalim pengantar pada artikel tersebut, yang dipublikasikan pada 30 Januari 2024 lalu.
Ema menjelaskan bahwa kekeringan dan hujan ekstrem mengalami peningkatan signifikan, yang berdampak pada wilayah Sumatra bagian tengah dan selatan.
Kekeringan ekstrem di masa mendatang juga berdampak pada wilayah Kalimantan bagian tengah, timur dan selatan (termasuk IKN). Sedangkan Kalimantan bagian barat diproyeksikan mengalami hari-hari yang lebih basah.
“Untuk Pulau Jawa, sebagian besar wilayah terancam mengalami suhu maksimum yang lebih tinggi dan suhu minimum yang lebih rendah khususnya untuk pantura Jawa Timur,” jelas Erma.
Selain kajian proyeksi perubahan iklim tersebut, lanjut Erma, kajian klimatologis terkini mengenai karakteristik hujan tahunan dan musiman di Indonesia juga diperlukan.
Hal itu sebagai bentuk validasi agar indikasi perubahan iklim yang terjadi secara aktual saat ini di Indonesia dapat dipetakan dengan lebih baik, khususnya dalam hal perubahan pada pola musim dan cuaca ekstrem.
Erma mengatakan bahwa kajian mengenai indikasi perubahan hujan diurnal menjadi kunci penting untuk memahami pola cuaca ekstrem yang terjadi di BMI selama dekade terkini sebagai dampak dari pemanasan global.
Pada dasarnya, pola hujan diurnal di BMI mengikuti pola umum hujan di darat yang dipengaruhi oleh angin darat-laut dan gelombang gravitasi sehingga fase kejadian hujan adalah sore hari di atas darat dan pagi hari di atas laut.
Namun demikian, lanjut Erma, terdapat variasi fase hujan diurnal sehingga hujan maksimum di darat terjadi pada dinihari dengan frekuensi yang signifikan (~20%) untuk wilayah di utara Jawa bagian barat termasuk DKI Jakarta.
Hujan dinihari yang turun dengan intensitas tinggi atau ekstrem (P99th) tersebut bahkan telah dibuktikan merupakan penyebab banjir besar di Jakarta pada 2007, 2013, 2014, 2020.
Hasil kajiannya, jelas Ema, menunjukkan karakteristik utama hujan dinihari yang terjadi di utara Jawa bagian barat, yaitu:
1. Hujan mengalami propagasi yang kuat dari laut menuju darat maupun sebaliknya;
2. Keacakan dalam hal fase terjadinya hujan pada rentang waktu dinihari (01.00–04.00 WIB);
3. Hujan dinihari memiliki keterkaitan yang kuat dengan hujan ekstrem yang memicu banjir besar di DKI Jakarta.
Dengan adanya kajian ini, Erma Yulihastin mengusulkan agar Indonesia membentuk Komite Cuaca Ekstrem. Menurutnya, kolaborasi yang erat dari hulu ke hilir antara BRIN-BMKG-BNPB-BPBD-Pemda-Relawan dan Media dalam sebuah forum bersama atau komite sudah saatnya dibangun sebagai bagian dari langkah strategi nasional melakukan mitigasi dan antisipasi dampak cuaca ekstrem yang semakin meluas akibat perubahan iklim.
(Aak)