BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Belajar bersama ternyata jauh lebih efektif daripada belajar sendirian. Menurut Digital Learning Journal 2025, pengguna yang terlibat dalam sesi belajar kolaboratif menghabiskan waktu hingga 2,5 jam lebih lama dibanding mereka yang belajar sendiri.
Fakta ini menjadi landasan kuat bagi OpenAI untuk meluncurkan fitur terbarunya dalam ChatGPT: Study Together.
Apa Itu Study Together?
Study Together adalah ruang belajar digital interaktif yang memungkinkan hingga 10 pengguna berkolaborasi dalam satu sesi, difasilitasi oleh AI ChatGPT. Bukan seperti grup chat biasa, fitur ini menawarkan pengalaman belajar seperti duduk di meja diskusi yang selalu terbuka, tanpa batasan waktu, lokasi, atau latar belakang.
Peran ChatGPT dalam Diskusi
Berbeda dari moderator manusia, ChatGPT memiliki peran aktif dan netral. Dalam sesi Study Together, AI akan:
Mengarahkan jalannya diskusi agar tetap fokus
Menyediakan referensi dan kutipan real-time
Menampilkan diagram atau visual saat dibutuhkan
Menjaga keseimbangan suara dalam diskusi
Bayangkan diskusi soal machine learning, lalu ChatGPT secara otomatis memunculkan diagram yang membandingkan supervised dan unsupervised learning.
Atau ketika debat soal teori ekonomi memanas, ChatGPT langsung mengutip sumber akademik untuk menjaga objektivitas.
Baca Juga:
Game Changer untuk Pendidikan Digital
Belajar kelompok tradisional sering kali terhambat oleh perbedaan zona waktu, dominasi peserta tertentu, atau sulitnya mencari referensi bersama. Study Together hadir untuk meniadakan kendala-kendala itu.
“AI bisa menjadi penyeimbang dalam diskusi. Semua peserta punya peluang yang sama untuk bicara atau menyanggah karena ChatGPT menjaga agar tidak ada yang terputus atau didominasi,” kata pakar pedagogi digital, Universitas Indonesia Dr. Amelia Setyawati.
Bagi profesional seperti data scientist atau desainer produk, fitur ini juga membuka ruang kolaborasi lintas negara. Tak hanya berdiskusi, ChatGPT dapat membuat ringkasan dan notulen otomatis setelah sesi selesai.
Meski menjanjikan, fitur ini bukan tanpa catatan. Beberapa peserta uji coba mengeluhkan bahwa ChatGPT kadang terlalu cepat memotong diskusi, menganggapnya keluar topik padahal masih relevan.
Selain itu, kekhawatiran soal privasi dan data orisinal juga muncul. Apakah percakapan akan digunakan untuk melatih AI ke depannya?
OpenAI sendiri menyatakan semua data dienkripsi, namun transparansi dan kontrol pengguna tetap menjadi hal yang dituntut publik.
Beberapa kampus di Eropa mulai menguji integrasi Study Together ke dalam Learning Management System (LMS) mereka. Tak hanya untuk mahasiswa di kota besar, fitur ini membuka kemungkinan bagi pelajar di daerah terpencil untuk belajar langsung dengan pengajar terbaik, tanpa terhalang jarak.
Bayangkan siswa di Papua berdiskusi soal sains bersama profesor di Jakarta, dengan ChatGPT sebagai jembatan pemahaman lintas bahasa dan latar belakang.
Kehadiran Study Together menjadi bukti bahwa teknologi terbaik adalah yang memperkuat interaksi manusia, bukan menggantikannya. Diskusi kini tak lagi dibatasi ruang, waktu, atau siapa yang paling vokal.
Yang penting bukan seberapa cepat jawaban didapat, tapi seberapa dalam pemahaman dibangun bersama.
(Budis)