BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Dalam acara pengukuhan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Imron menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Early Warning System Lembaga Keuangan Syariah sebagai Upaya Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Nasional.”
Prof Imron menjelaskan dalam sistem ekonomi neo-liberal, krisis keuangan sering muncul akibat instrumen keuangan yang tidak memberikan dampak langsung pada sektor riil. Kondisi ini menciptakan gelembung ekonomi yang sewaktu-waktu dapat meletus.
Jika krisis terjadi, salah satu pihak yang paling terdampak adalah Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
“Indonesia menerapkan sistem keuangan dan perbankan ganda, di mana LKS beroperasi dalam sistem yang sama dengan lembaga keuangan konvensional,” ujar Prof Imron, mengutip laman resmi Unair, Jumat (20/12/2024).
Pentingnya Early Warning System (EWS)
Krisis keuangan yang dialami LKS berpotensi menimbulkan risiko sistemik pada lembaga keuangan lainnya, bahkan pada keseluruhan sistem keuangan. Untuk memitigasi risiko ini, LKS perlu melakukan langkah preventif melalui pendeteksian dini terhadap potensi kebangkrutan. Sistem ini dikenal dengan istilah Early Warning System (EWS).
“Pada tingkat makro, EWS bekerja dengan memantau sensitivitas perubahan variabel ekonomi makro untuk mendeteksi potensi kejatuhan industri keuangan. Variabel tersebut mencakup suku bunga, nilai tukar, neraca perdagangan, dan fluktuasi harga komoditas,” jelas Prof Imron, yang dikenal sebagai Guru Besar Investasi dan Keuangan Islam.
Di bank syariah, EWS menghitung nilai z-score, yaitu kombinasi kinerja keuangan seperti laba ditahan, nilai pasar ekuitas, nilai pasar uang, dan aset.
“Z-score di bawah ambang batas tertentu mengindikasikan potensi kebangkrutan bank syariah,” tambahnya.
Peran Pembiayaan Uncertainty Contract
Menurut Prof Imron, pembiayaan berbasis uncertainty contract, seperti akad mudharabah dan musyarakah, menjadikan bank syariah lebih tangguh menghadapi guncangan krisis.
“Uncertainty contract lebih efektif untuk mengatasi ketidakpastian pasar jangka panjang dibandingkan pembiayaan certainty contract,” paparnya.
Oleh karena itu, bank syariah disarankan untuk mengoptimalkan portofolio pembiayaan berbasis uncertainty contract dibandingkan akad certainty contract seperti murabahah, istishna’, maupun ijarah.
Dalam asuransi syariah, EWS diterapkan dengan mengukur sensitivitas dana tabarru’ terhadap risiko deficit underwriting. Selain itu, perusahaan asuransi syariah juga dapat mendeteksi potensi risiko melalui z-score kinerja keuangan, bukan hanya berdasarkan risk-based capital (RBC).
Pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), pendekatan logit sering digunakan untuk mendeteksi sinyal dini. Namun, LKMS menghadapi kelemahan struktural, seperti ketiadaan Lender of Last Resort (LoLR) dan sistem penjamin simpanan.
Dengan aset, modal, dan diversifikasi yang terbatas, risiko kebangkrutan LKMS lebih tinggi dibandingkan bank.
“Pengembangan EWS di LKMS menjadi kebutuhan mendesak untuk meningkatkan stabilitas dan kepercayaan, terutama saat terjadi guncangan dalam industri keuangan,” tegas Prof Imron.
Rekomendasi untuk Meningkatkan Stabilitas Keuangan
Prof Imron memberikan beberapa rekomendasi strategis. Pertama, pemerintah perlu mengendalikan utang pemerintah dan swasta, karena perbedaan yield obligasi pemerintah dengan tingkat bunga Amerika Serikat dapat menjadi indikator awal krisis.
BACA JUGA: Cuaca Ekstrem Meningkat! Pakai Unair Beberkan Upaya Mitigasi Pohon Tumbang
Kedua, LKS harus mengembangkan EWS yang sesuai dengan karakteristik masing-masing, dengan mempertimbangkan perbedaan uncertainty dan certainty contract. Terakhir, pemerintah perlu segera membenahi LKMS dengan membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan menerapkan kewajiban cadangan serupa dengan giro wajib minimum.
Langkah-langkah ini harapannya mampu menjaga stabilitas sistem keuangan nasional, sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap LKS dan LKMS.
(Virdiya/Budis)