MAKASAR,TM.ID: Sejumlah aktivis dari Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Angin Mamiri Sulawesi Selatan menggelar aksi menuntut hak-hak buruh perempuan, sekaligus mendesak kasus berkaitan dengan perempuan segera dituntaskan.
“Perempuan buruh di Indonesia, termasuk di Sulsel masih mengalami banyak persoalan seperti diskriminasi, pemenuhan hak-hak reproduksi, kekerasan di tempat kerja, korban trafficking hingga kematian di negara tujuan,” ungkap Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Angin Mammiri Sulsel, Suryani, saat aksi May Day di bawah jembatan layang Makassar, Senin (1/5/2023).
Menurutnya, 1 Mei bukan sekadar perayaan. Tetapi harus dimaknai sebagai hari perjuangan buruh di seluruh dunia.
Hari Buruh Internasional diperingati adalah sejarah panjang perjuangan buruh dalam merebut hak dan mendorong perubahan atas situasi ketidakadilan, penindasan dan pemiskinan yang tersistematis.
Bahkan, menjelang Pemilu 2024 disinyalir akan menjadi ruang transaksi dan konsolidasi antara politisi dan pengusaha untuk mendapatkan kekuasaan dan memastikan keuntungan bisnis melalui kebijakan, izin, bahkan hak impunitas atau kekebalan hukum termasuk kepentingan oligarki.
Di sisi lain, hak buruh tidak menjadi substansi untuk dibicarakan secara serius.
“Oleh karena itu, saya mengajak masyarakat di Sulsel, untuk tidak pilih pemimpin yang tidak melindungi kepentingan perempuan buruh,” papar Suryani menekankan disela aksi teatrikal.
Pihaknya pun mencatat ada 6.000 Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Sulsel menjadi korban deportasi massa selama Pandemi COVID-19 dari Malaysia ke Indonesia.
Sejauh ini data SP Angin Mamiri telah menangani delapan kasus buruh migran menjadi korban perdagangan orang, dua di antaranya meninggal di Abu Dhabi, Arab Saudi.
Selain itu, ada banyak perempuan nelayan kehilangan pekerjaan diduga terdampak kebijakan pembangunan Pelabuhan Makassar New Port yang mereklamasi laut di Makassar seluas 1.428 hektare.
Di sektor lain perempuan petani di Kabupaten Takalar juga kehilangan atas hak tanahnya setelah dikelola PTPN atau perusahaan gula di kabupaten setempat.
Di Sektor lainnya perempuan buruh industri masih mengalami diskriminasi upah dan tidak terpenuhinya hak reproduksi, berupa cuti haid, hamil, melahirkan, dan keguguran, serta tidak adanya kondisi kerja yang layak bagi perempuan pekerja rumah tangga.
Dari berbagai permasalahan buruh dan krisis multi dimensi tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang sedari awal bermasalah secara formil dan materiil hingga menuai protes.
“Untuk itu kami menyatakan sikap agar negara memberikan jaminan perlindungan bagi perempuan buruh migran. Hentikan semua proyek pembangunan yang merampas ruang hidup perempuan. Melibatkan perempuan buruh migran dalam pembahasan Ranperda TPPO Sulsel,” paparnya.
Selanjutnya, tidak melakukan segala bentuk penyiksaan dan kekejaman terhadap PMI yang dideportasi. Segera mencabut Perppu Cipta Kerja. Melakukan pengesahan terhadap Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Segera merumuskan kebijakan yang melindungi, menghormati dan memenuhi hak pekerja migran Indonesia, khususnya Perempuan di Sulsel dan Hentikan PHK sepihak dan berikan upah layak bagi buruh perempuan.
BACA JUGA: Buruh di Bali Sorot Maraknya Penerapan “Daily Worker”
(Dist)