BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — RA Kartini merupakan pahlawan nasional yang terkenal sebagai pelopor emansipasi wanita Indonesia. Wafat hanya empat hari setelah melahirkan anak tunggalnya, Soesalit Djojoadhiningrat, pada 13 September 1904.
Kepergian Kartini meninggalkan luka mendalam dan awal yang getir bagi bayi Soesalit yang bahkan belum sempat mengenal ibunya. Delapan tahun kemudian, ayah Soesalit, RM Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, juga wafat.
Hal ini membuat Soesalit menjadi yatim piatu di usia sangat muda. Ia kemudian dibesarkan oleh neneknya, Ngasirah, dan kakak tirinya, Abdulkarnen Djojoadhiningrat, yang sangat menyayanginya dan membiayai pendidikannya.
Pendidikan
Sebagai keturunan bangsawan dan anak dari sosok ikonik, Soesalit menempuh pendidikan tinggi pada zamannya.
Ia bersekolah di Europe Lagere School (ELS), sekolah elite untuk anak-anak Belanda dan kaum bangsawan pribumi. Pada 1919, ia lulus dari ELS dan melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang.
Setelah itu, ia diterima di Rechtshoogeschool (RHS) Batavia, institusi hukum paling bergengsi pada masa kolonial.
Namun, pendidikan hukumnya hanya bertahan satu tahun, sebelum ia memilih beralih ke dunia kerja sebagai pegawai pamong praja kolonial.
Menjadi Agen PID
Karier Soesalit semula diarahkan oleh kakak tirinya, Abdulkarnen, yang menawarkan posisi di Politieke Inlichtingen Dienst (PID) polisi rahasia Hindia Belanda.
Di PID, Soesalit bertugas sebagai mata-mata, mengawasi pergerakan nasionalis dan mengantisipasi spionase asing, termasuk dari Jepang.
Namun, seiring waktu, Soesalit dilanda dilema moral. Ia menyadari bahwa pekerjaannya tidak sejalan dengan cita-cita bangsa yang diperjuangkan oleh para tokoh pergerakan, termasuk semangat emansipasi ibunya sendiri, RA Kartini.
Bergabung dengan PETA
Kedatangan Jepang ke Indonesia mengubah arah kehidupan Soesalit. Ia meninggalkan PID dan bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air).
Keputusan ini bukan hanya bentuk penebusan, tetapi juga menandai titik balik dalam hidup Soesalit.
Peran Soesalit
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Soesalit aktif dalam dunia militer. Ia bahkan diangkat sebagai Panglima Divisi III Diponegoro, wilayah militer strategis di Jawa Tengah.
Soesalit juga ikut bergerilya di Gunung Sumbing saat Agresi Militer Belanda II. Dedikasinya terhadap kemerdekaan tidak diragukan, meskipun dalam praktiknya, karier militernya tidak berjalan mulus.
Mundur dari Karier Militer
Walaupun sempat berpangkat Mayor Jenderal, karier Soesalit mengalami penurunan drastis. Pangkatnya diturunkan menjadi Kolonel dan kemudian pindah ke Kementerian Perhubungan.
Puncak penderitaan terjadi pada Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948. Namanya ada dalam dokumen pemberontak sebagai “orang yang diharapkan.” Tuduhan ini menjadikannya tahanan rumah, meskipun tidak ada bukti sah keterlibatannya.
Presiden Soekarno akhirnya membebaskannya, namun kariernya di militer berakhir. Ia tidak lagi menjabat sebagai panglima dan hanya mendapat posisi administratif sebagai perwira staf Angkatan Darat di Kementerian Pertahanan.
Kiprah di Dunia Sipil
Pada 1950, Soesalit menjadi Kepala Penerbangan Sipil, posisi penting dalam dunia transportasi Indonesia pascakemerdekaan. Kemudian, pada masa Kabinet Ali Sastroamodjojo I (1953–1955), ia diangkat sebagai Penasihat Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri.
Dengan pangkat Kolonel, Soesalit tetap mengabdi pada negara meskipun tanpa gemerlap militer yang pernah ia rasakan. Ia menjalankan perannya secara loyal dan berdedikasi, sekaligus menjauh dari sorotan publik.
BACA JUGA:
Sederet Wanita yang Dijuluki Kartini Masa Kini, Siapa Saja?
Surat Kartini Berhasil Selamatkan Perempuan Indonesia ke Masa Terang
Soesalit wafat pada 17 Maret 1979 di Rumah Sakit Angkatan Perang (RSAP). Ia meninggal dalam kesenyapan, jauh dari sorotan sejarah, meski merupakan anak satu-satunya dari tokoh emansipasi wanita paling terkenal di Indonesia.
(Kaje/Aak)