BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Di zaman sekarang, teknologi itu seperti “teman wajib” bagi mahasiswa. Semua serba online. Mulai dari kuliah daring, absen lewat aplikasi, cari jurnal, sampai submit tugas—semuanya dilakukan lewat internet. Menurutku pribadi, teknologi benar-benar sangat membantu. Bayangkan kalau sekarang masih harus serba manual, pasti ribet banget dan nggak efisien. Bisa-bisa satu tugas harus nyari buku ke perpustakaan dulu, padahal deadline tinggal sehari.
Sebagai mahasiswa, aku sendiri cukup bergantung pada teknologi. Tapi bukan berarti sampai kecanduan. Aku sadar penggunaanku masih tergolong wajar dan lebih ke arah kebutuhan. Laptop jadi benda yang paling sering aku pakai untuk mengerjakan tugas, bikin presentasi, atau sekadar cari referensi artikel dan jurnal. Tapi memang, kadang-kadang tanpa sadar, waktu yang harusnya dipakai buat fokus belajar malah kebagi karena kebiasaan buka HP dan scroll medsos.
Pernah suatu waktu aku coba mengurangi waktu screen time di HP. Tujuannya biar lebih fokus belajar dan nggak gampang terdistraksi. Tapi ternyata lumayan susah. Ada aja notifikasi yang bikin tangan gatal buat ngecek. Belum lagi kalau udah buka medsos, tau-tau waktu belajar malah kepotong sendiri. Di sisi lain, kalau terlalu jauh dari teknologi juga bisa bikin ketinggalan info penting—mulai dari pengumuman kampus sampai kabar grup kelas. Serba salah, ya?
Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Bahkan, menurut DataReportal 2024, rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 7 jam sehari di internet. Bagi mahasiswa, waktu sebanyak itu tentu sebagian besar dipakai untuk kegiatan produktif. Tapi sisanya? Bisa jadi malah bikin jenuh, capek, bahkan stres. Apalagi kalau kita udah mulai ngerasa “bersalah” karena terlalu lama di depan layar tapi tugas belum juga selesai.
Temen-temenku juga banyak yang ngalamin hal serupa. Ada yang ngerasa susah tidur karena kebiasaan buka HP sebelum tidur. Ada juga yang bilang jadi gampang lelah karena dari pagi sampai malam harus mantengin layar laptop terus. Bahkan ada yang merasa semacam ‘tekanan sosial digital’ karena merasa harus selalu online, selalu respon chat, dan harus ikut semua tren digital biar nggak ketinggalan. Ini semua bikin aku sadar bahwa teknologi memang bisa bantu, tapi kalau nggak diatur dengan baik, justru bisa bikin stres.
Di titik ini, menurutku bukan cuma mahasiswa yang perlu beradaptasi, tapi juga kampus dan dosen. Kita sering dituntut untuk selalu siap online, cepat tanggap, multitasking, tapi tanpa panduan bagaimana caranya menggunakan teknologi secara sehat. Padahal, akan jauh lebih baik kalau kampus juga mulai menyisipkan literasi digital dan kesehatan mental dalam aktivitas perkuliahan. Misalnya, dengan membuat jadwal kuliah yang tidak terlalu padat dalam sehari, atau memberikan waktu istirahat digital secara sadar.
Aku juga berpikir, teknologi bukan soal seberapa canggih alatnya, tapi bagaimana cara kita memperlakukannya. Bahkan teknologi paling sederhana pun bisa berdampak luar biasa kalau kita pakai dengan tepat. Sebaliknya, alat secanggih apapun tetap bisa jadi beban kalau kita nggak tahu batasnya.
Ada satu momen yang cukup ngena. Waktu itu, aku lagi sibuk ngurus tugas kelompok yang semuanya harus lewat Zoom dan chat grup. Di minggu yang sama, ada deadline tugas individu, presentasi, dan juga kegiatan kampus. Hasilnya? Rasanya kayak burnout digital. Badan ada di kamar, tapi pikiran terpecah ke banyak layar. Dari situ aku mulai bikin aturan pribadi: satu jam sebelum tidur, no HP. Setiap hari, minimal ada satu waktu tanpa layar. Nggak mudah, tapi perlahan bikin lebih sadar akan ritme hidup sendiri.
Teknologi bukan musuh, tapi juga bukan sahabat kalau kita nggak bisa mengatur hubungan dengannya. Kita perlu jadi pengguna yang sadar, bukan sekadar pengikut tren. Jangan sampai karena takut ketinggalan informasi, kita justru kehilangan koneksi dengan diri sendiri.
Di era digital ini, mahasiswa bukan cuma dituntut untuk melek teknologi, tapi juga melek emosi dan kesehatan mental. Karena sebesar apapun manfaat teknologi, nilainya tetap akan bergantung pada siapa yang menggunakannya.
(Rai Hartanty/Universitas Indonesia Membangun)