BANDUNG,TM.ID: RUU Kesehatan saat ini telah resmi menjadi UU Kesehatan. Pengesahan tersebut tetap dilakukan meskipun mendapat penolakan dari IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan empat organisasi lainnya.
Ketua IDI Adib Khumaidi menanggapi soal pengesahan RUU Kesehatan yang telah menjadi UU Kesehatan tersebut.
“Dengan disahkannya RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan di rapat paripurna DPR tanggal 11 Juli 2023 pukul 13.42, merupakan sejarah catatan kelam di dunia medis dan dunia kesehatan Indonesia,” ujar Adib, melansir Liputan 6, Rabu (12/7/2023).
Menurutnya pengesahan UU Kesehatan ini merupakan sejarah kelam bagi organisasi profesi. Hal ini merupakan susunan regulasi UU yang secara prosedural belum mencerminkan kepentingan partisipasi yang bermakna.
Adib juga menilai, dalam penyusunannya UU tersebut tidak transparan. Sampai saat ini pihakya belum pernah mendapat rilis yang resmi terkait dengan RUU final yang disahkan pada Selasa (11/7/2023) lalu. UU Kesehatan juga disebut sebagai produk politik yang proses penyusunan, pembahasan, sampai pengesahannya sudah merusak nilai-nilai demokrasi dan konstitusi negara.
UU Kesehatan Belum Memenuhi Aspirasi IDI
Aspirasi dan partisipasi dalam penyusunan UU kesehatan belum diterima dengan baik. Pasalnya UU dengan metode omnibus law tersebut mencabut 9 UU lama yang sebelumnya sudah ada.
“Apakah ini sudah mencerminkan kepentingan kesehatan rakyat Indonesia. Ini sungguh di luar nalar kita semua. Meski omnibus law sah dalam pembuatan UU di Indonesia, tapi kita lihat ketergesa-gesaan, keburu-buruan ini menjadi sebuah cerminan bahwa regulasi ini dipercepat.”
“Lalu benarkah UU Kesehatan ini akan bisa mencerminkan, mewujudkan cita-cita transformasi kesehatan? Atau transformasi kesehatan hanya sebuah janji manis yang dilembagakan dalam regulasi UU?” tanya Adib.
BACA JUGA: Disebut Cacat Prosedur, IDI Gugat UU Kesehatan ke MK
Dihilangkannya Mandatory Spending
Adib juga mengomentari terkait dihilangkannya mandatory spending anggaran 10 persen.
“Dengan hilangnya mandatory spending atau komitmen negara baik pusat maupun daerah, itu berarti masyarakat secara kuantitas tidak mendapatkan kepastian hukum di dalam aspek pembiayaan kesehatan.”
“Masyarakat akan dihadapkan dengan upaya membangun kesehatan yang akan dikedepankan dengan sumber-sumber pendanaan di luar APBN dan APBD, bukan tidak mungkin melalui pinjaman privatisasi sektor kesehatan, komersialisasi, dan bisnis kesehatan yang akan membawa sebuah konsekuensi tentang ketahanan bangsa Indonesia,” jelas Adib.
Tanggapan Peneliti Kesehatan
Peneliti Global Healthy Security Griffith University Australia, Dicky Budiman juga mengomentari soal mandatory spending.
“Jelas ini suatu kemunduran bukan kemajuan. Bahkan, memasuki era yang lebih membutuhkan anggaran besar, respons pemerintah malah mengalami kemunduran,” kata Dicky.
Tidak dicantumkan besar anggaran wajib kesehatan dalam RUU Kesehatan yang sudah disahkan pada 11 Juli 2023.
“Ini mengundang masalah, artinya komitmen melemah dalam pembangunan kesehatan, apapun alasannya,” kata Dicky.
World Health Organization (Badan Kesehatan Dunia) menyarankan bahwa setidaknya ada alokasi minimal pada negara-negara berkembang sebesar 5-10 persen dari total anggaran untuk kesehatan. Sementara, hanya negara yang kurang mampu saja yang tidak mematok anggaran wajib kesehatan.
(Kaje/Budis)