JAKARTA,TM.ID: Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, menegaskan selama masa keketuaan di ASEAN tahun ini, Indonesia bekerja keras memastikan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bersatu untuk menangani isu Myanmar.
“ASEAN hanya bisa maju dengan kekuatan penuh jika kita bisa memastikan solusi damai dan langgeng di Myanmar,” kata Retno ketika membuka Pertemuan para Menlu ASEAN (AMM) di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Senin (4/9/2023).
Ia menyebut, para menlu akan melakukan tinjauan komprehensif terhadap Konsensus Lima Poin (5PC) dan menyiapkan rekomendasi untuk dipertimbangkan oleh semua pemimpin ASEAN.
Konsensus Lima Poin menyerukan penghentian kekerasan, dialog dengan semua pemangku kepentingan, menunjuk utusan khusus untuk memfasilitasi mediasi dan dialog, mengizinkan ASEAN untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Myanmar, serta mengizinkan utusan khusus ASEAN untuk mengunjungi dan bertemu dengan pemangku kepentingan di Myanmar.
BACA JUGA: KTT ke-43 ASEAN, Berikut Rekayasa Lalin di Kawasan Sekretariat ASEAN
Sejak disepakati pada April 2021 oleh para pemimpin ASEAN dan pimpinan junta militer Myanmar Min Aung Hlaing, implementasi konsensus itu sebagai rencana perdamaian dalam mengatasi krisis Myanmar masih mandek.
ASEAN menilai tidak ada kemauan dari junta yang berkuasa di Myanmar untuk mengimplementasikan konsensus tersebut.
Selama masa keketuannya, Indonesia telah melakukan lebih dari 110 pendekatan dengan berbagai pihak di Myanmar, termasuk dengan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang adalah pemerintah bayangan bentukan oposisi junta, Dewan Administrasi Negara (SAC) yang dibentuk militer, organisasi perlawanan etnis (EROs), serta masyarakat sipil Myanmar untuk membuka jalan menuju dialog inklusif.
(Dist)
Semua itu dilakukan dengan tetap mengacu pada 5PC sebagai acuan utama bagi ASEAN untuk penanganan krisis di Myanmar.
“5PC adalah acuan utama, dan implementasi 5PC harus tetap jadi fokus ASEAN,” kata Menlu Retno dalam AMM di Jakarta pada Juli lalu.
Penegasan oleh Menlu Retno terkait 5PC dilakukan setelah Thailand pada Juni mengadakan pertemuan yang mengundang perwakilan junta Myanmar, yang dikucilkan dari berbagai pertemuan ASEAN karena mereka melanggar konsensus dan terus melakukan aksi kekerasan terhadap rakyatnya.
Thailand memberikan pembenaran atas pertemuan tersebut dengan mengatakan bahwa dialog dengan junta sangat diperlukan untuk melindungi negaranya, yang memiliki perbatasan panjang dengan Myanmar.
Krisis di Myanmar dipicu kudeta oleh militer terhadap pemerintah terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021, atas dugaan kecurangan pemilu.
Sejak itu, Myanmar menghadapi krisis politik dan keamanan ketika junta merespons protes besar-besaran rakyat dengan kekerasan bersenjata, hingga mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa dan luka-luka.
Krisis tersebut juga mendorong warga Myanmar untuk mengungsi dan sekitar 17,6 juta warga Myanmar sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan, termasuk lebih dari 5 juta anak di negara itu, berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
(Dist)