BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Di balik dapur steril dan penuh cahaya LED di jantung kota Dubai, seorang “koki” sibuk memotong bawang hingga setipis rambut manusia, memanggang daging dengan presisi suhu yang mustahil dilakukan manusia, dan menyusun makanan seperti karya seni.
Tapi sosok ini bukan manusia. Ia adalah Chef Aiman, sistem kecerdasan buatan yang siap mendefinisi ulang apa itu profesi koki.
Pada kuartal ketiga 2025, pemerintah Dubai lewat Dubai Future Foundation akan meresmikan peluncuran AI-man, restoran pertama di dunia yang seluruh dapurnya dioperasikan oleh koki AI.
Di balik kemewahan futuristik dan performa tanpa cela, muncul pertanyaan mendasar, apakah peran manusia di dapur perlahan tergeser oleh algoritma?
Baca Juga:
Mengenal ChatGPT Vision, Transformasi Kecerdasan Buatan di Era Digital
Chef Aiman adalah buah hasil tiga tahun pengembangan antara insinyur perangkat lunak dan koki Michelin. Dilengkapi lebih dari 50.000 resep dan sistem pembelajaran adaptif, Aiman bukan sekadar alat bantu, tapi pengambil keputusan aktif di dapur:
– Ia mengubah resep berdasarkan bahan musiman.
– Ia membaca riwayat pesanan pelanggan dan menyesuaikan rasa.
– Ia bahkan bisa berinteraksi dan menjelaskan filosofi hidangan kepada tamu seperti manusia.
“Yang membedakan bukan sekadar teknik memasak, tapi kemampuannya memahami konteks budaya dan narasi di balik makanan,” kata Dr. Amina Al-Mansoori dari Dubai AI Institute.
Restoran AI bukan sekadar proyek gaya-gayaan. Ini adalah sinyal pergeseran industri makanan secara struktural. Menurut laporan Asosiasi Chef Internasional:
– 42% chef merasa terancam, baik dari sisi kreativitas maupun lapangan kerja.
– 35% melihat peluang baru, khususnya dalam efisiensi dan konsistensi.
Peran koki junior perlahan bergeser ke operator sistem, kurator data rasa, hingga desainer antarmuka dapur pintar.
Bagi restoran konvensional, tantangan ke depan bukan sekadar membuat masakan enak, tapi bersaing dalam kecepatan, presisi, dan storytelling digital.
“Kami tidak mengimpor revolusi, kami membangunnya dari nol,” ujar Sheikh Ahmed bin Saeed dari Dubai Future Foundation.
Meski sudah melewati ratusan uji coba dengan tingkat kepuasan tinggi, AI tetap menemui tantangan utama,”rasa lokal”. Apa arti “gurih”, “agak manis”, atau “pedas pas” jika didekati secara matematis?
“Itu tantangan kami selanjutnya. Mengajar mesin memahami subjektivitas rasa manusia,” jelas Prof. Yusuf Khan dari Emirates Tech University.
Dengan industri kuliner global diperkirakan menyentuh $7 triliun pada 2030, adopsi teknologi di dapur bukan lagi opsi, tapi keniscayaan. Namun, seperti semua revolusi, yang dibutuhkan bukan hanya inovasi, tapi keseimbangan.
Chef manusia mungkin tak tergantikan dalam hal intuisi dan empati, tapi dunia tampaknya mulai memberi ruang bagi chef digital yang tak pernah kelelahan dan selalu presisi.
(Budis)