BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Putra Mahkota Kasunanan Surakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram, baru-baru ini mengunggah pernyataan kontroversial di akun Instagram pribadinya, @kgpaa.hamangkunegoro.
“Nyesel Gabung Republik,” tulis putra mahkota Kasunanan Surakarta pada Jumat (7/3/2025).
“Percuma Republik Kalau Cuma Untuk Membohongi,” lanjutnya.
Unggahan ini segera dihapus, namun tangkapannya telah tersebar luas di media sosial, mengundang beragam reaksi dari masyarakat.
“Penyesalan selalu datang di akhir ya,” tulis pemilikakun instagram @imp***
“Katanya nyesel gabung Republik tapi foto sama perusaknya,” tulis akun @ahm***
“sekelas darah biru bisa fomo juga ya,” tulis @arr***
Lihat postingan ini di Instagram
Sebuah kiriman dibagikan oleh Kgpaa Hamangkunegoro (@kgpaa.hamangkunegoro)
Ekspresi Kekecewaan yang Mendalam
Kasunanan Surakarta merespons pernyataan ini dengan memberikan klarifikasi resmi pada Senin (3/3/2025). Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan, Kanjeng Pangeran Aryo Dany Nur Adiningrat.
Menjelaskan bahwa unggahan Hamangkunegoro merupakan bentuk kritik terhadap kondisi pemerintahan saat ini. Terutama terkait dugaan korupsi di Pertamina yang mengecewakan masyarakat luas.
Hamangkunegoro menyoroti bahwa tata kelola pemerintahan saat ini jauh dari harapan leluhur Keraton Surakarta yang dahulu turut berjuang demi kemerdekaan Indonesia.
Ia mengingatkan bahwa Sri Susuhunan Pakubuwono VI dan X telah diakui sebagai Pahlawan Nasional. Sementara Sri Susuhunan Pakubuwono XII dengan sukarela menggabungkan Kasunanan Surakarta ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Keraton Surakarta pun menegaskan dukungannya terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran dalam upaya pemberantasan korupsi dan penegakan prinsip ketatanegaraan yang sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa.
Pandangan Sejarawan
Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Margana, menilai bahwa kritik dari putra mahkota merupakan ekspresi wajar dan mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap berbagai persoalan bangsa. Menurutnya, kritik semacam ini menunjukkan bahwa Keraton masih memiliki perhatian terhadap kondisi negara.
Namun, Margana juga menilai bahwa menyangkutpautkan kritik tersebut dengan penyesalan bergabungnya Kasunanan Surakarta ke NKRI adalah indikasi kekecewaan yang lebih serius.
Dalam filosofi Keraton, terdapat konsep “sabda pandhita ratu, tan kena wola-wali,” yang berarti bahwa ucapan seorang raja atau putra mahkota harus konsisten dan tidak boleh ditarik kembali.
BACA JUGA:
Putra Mahkota Keraton Surakarta Enggan Minta Maaf Terkait Pernyataan “Nyesel Gabung Republik”
Kasunanan Surakarta
Kasunanan Surakarta pernah menjadi kerajaan berdaulat sebelum memilih bergabung dengan Republik Indonesia. Namun, pada 1946, status keistimewaannya dicabut akibat gerakan antiswapraja yang dipimpin kelompok kiri.
Sejak itu, Surakarta tidak lagi memiliki hak-hak khusus seperti Kesultanan Yogyakarta, yang hingga kini tetap berstatus sebagai Daerah Istimewa.
Margana menilai bahwa meskipun peluang mengembalikan status keistimewaan Surakarta tetap ada, hal ini bergantung pada dukungan publik dan pemerintah.
Ia juga menyoroti bahwa kondisi Keraton saat ini kurang terawat dan mengalami banyak konflik internal. Berbeda dengan Yogyakarta yang lebih solid dan berkembang.
Saat ini, pengaruh Keraton Surakarta lebih terbatas pada aspek budaya dan ritual adat, tanpa memiliki peran politik yang kuat.
Jika ingin kembali menjadi kekuatan berpengaruh, Keraton harus aktif memberikan contoh positif dan berkolaborasi dengan masyarakat serta pemerintah dalam upaya pelestarian budaya.
Kritik terhadap pemerintahan, seperti yang disuarakan Hamangkunegoro, dinilai sebagai langkah awal untuk membangun kembali suara Keraton dalam dinamika politik nasional.
Jika dilakukan dengan cara yang konstruktif, kritik semacam ini dapat menjadi bagian dari upaya mendorong perubahan menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Dengan demikian, suara Keraton dapat kembali didengar, bukan hanya sebagai simbol budaya. Tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai kebangsaan yang selama ini dijunjung tinggi oleh para leluhurnya.
(Hafidah Rismayanti/Usk)