BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Pada suatu pagi di bulan Maret 2025, suasana di kantor redaksi Tempo yang biasanya dipenuhi dengan aktivitas jurnalistik mendadak berubah mencekam. Di depan gedung redaksi, tergeletak seekor kepala babi. Bau menyengat menyusup ke udara, menciptakan suasana yang tak hanya menjijikkan, tetapi juga menakutkan. Di samping kepala babi itu, ditemukan secarik kertas dengan tulisan bernada ancaman—sebuah pesan yang sengaja ditinggalkan untuk menebar ketakutan.
Aksi teror ini bukan kejadian biasa. Kepala babi bukan hanya simbol penghinaan, tetapi juga bentuk kekerasan psikologis yang menyasar nilai-nilai budaya dan agama. Dalam masyarakat Indonesia yang plural, penggunaan simbol seperti ini bukan saja provokatif, tetapi juga berpotensi menyulut konflik yang lebih luas. Kehadiran benda tersebut di depan kantor media ternama seperti Tempo bukan hanya simbol ancaman terhadap satu institusi, melainkan gambaran nyata tekanan terhadap kebebasan pers secara menyeluruh.
Aroma kekhawatiran menyelimuti ruang redaksi. Para jurnalis, yang selama ini dikenal berani mengungkap fakta, kini menghadapi bentuk intimidasi yang sangat jelas. Sebelumnya, mereka tengah menggarap laporan investigatif tentang dugaan korupsi yang melibatkan tokoh politik berpengaruh. Teror ini datang tak lama setelah laporan tersebut mulai menjadi perbincangan publik. Keterkaitan waktu yang begitu dekat menimbulkan dugaan bahwa aksi ini bukan kebetulan, melainkan upaya terencana untuk membungkam suara kritis.
Kondisi ini mencerminkan bagaimana ruang gerak jurnalisme investigatif di Indonesia semakin sempit. Dalam beberapa tahun terakhir, tekanan terhadap media terus meningkat. Tak sedikit jurnalis yang mengalami doxing, serangan digital, hingga kekerasan fisik saat meliput di lapangan. Aksi teror kepala babi ini menjadi babak terbaru dalam serangkaian upaya membungkam pers melalui taktik ketakutan.
Pernyataan-pernyataan kecaman pun segera bermunculan. Dari lembaga-lembaga seperti AJI dan LBH Pers, hingga komunitas sipil yang menyerukan perlindungan terhadap jurnalis dan pengungkapan pelaku teror. Mereka mengingatkan bahwa kebebasan pers adalah hak fundamental dalam negara demokratis. Jika dibiarkan, tindakan seperti ini bisa menciptakan efek gentar di kalangan jurnalis lainnya.
Namun sayangnya, harapan terhadap penegakan hukum tak selalu sebanding dengan kenyataan. Banyak kasus serupa sebelumnya berakhir tanpa kejelasan, menyisakan ketakutan dan frustrasi. Dalam kondisi seperti ini, jurnalis dan media bekerja dalam bayang-bayang ketidakpastian, mempertaruhkan keamanan demi menyampaikan informasi kepada publik.
Masyarakat sipil menunjukkan reaksi solidaritas. Aksi damai digelar di beberapa kota. Media sosial dipenuhi dengan tagar dukungan terhadap Tempo dan kebebasan pers. Suasana haru dan marah menyatu, mencerminkan kekhawatiran bahwa demokrasi Indonesia sedang menghadapi ujian berat.
Pemandangan kepala babi yang membusuk di depan kantor media menjadi simbol yang menohok: bahwa di balik wajah modern demokrasi, masih tersembunyi praktik-praktik primitif yang membungkam perbedaan pendapat. Ketika negara tak mampu melindungi jurnalis dari teror, maka kepercayaan publik terhadap demokrasi dan hukum perlahan runtuh.
Kisah ini menggambarkan lebih dari sekadar insiden kriminal. Ia adalah potret tentang bagaimana kekuasaan, ketika merasa terganggu, bisa berubah menjadi ancaman nyata bagi kebebasan berekspresi. Suasana takut yang menyelimuti redaksi Tempo menjadi cermin bagaimana tekanan terhadap media kini hadir dengan cara yang semakin terang-terangan dan brutal.
Penulis :
Vydia Apriluanty Gunawan