JAKARTA, SUAR MAHASISWA AWARDS —Sebuah insiden penggerebekan terhadap seorang remaja di kawasan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, karena mengibarkan bendera bergambar simbol bajak laut dari serial anime One Piece, menuai perhatian publik. Aksi tersebut dianggap mencurigakan oleh sebagian warga dan memicu laporan ke pihak berwajib. Padahal, simbol tersebut dikenal luas sebagai representasi karakter utama dalam cerita fiksi Jepang yang populer di kalangan anak muda.
Peristiwa ini terjadi di lingkungan permukiman padat penduduk, saat sang remaja menggantungkan bendera bergambar tengkorak memakai topi jerami di depan rumahnya. Awal mula kejadian, bermula dari chat seorang Ketua RT setempat, yang memintanya untuk menurunkan bendera secara personal melalui chatting via WhatsApp, pada hari Senin, 4 Agustus 2025.
Warga yang tidak memahami secara langsung konteks tersebut menduga ada unsur negatif pada simbol itu. Akibatnya, pihak keluarga harus menjelaskan bahwa bendera itu hanya bentuk ekspresi kecintaan terhadap karakter fiksi dari serial One Piece, bukan bagian dari kelompok atau simbol berbahaya.
Dalam proses wawancara langsung, remaja yang menjadi sasaran penggerebekan mengaku kaget atas kejadian yang menimpanya tersebut.
“Saya hanya penggemar anime. Bendera itu saya kibarkan sebagai bentuk representatif dari kegemaran serta bentuk ekspresi saya terhadap kartun One Piece tersebut, tidak ada unsur untuk memecah belah atau lainnya, toh juga saya memasangnya tidak lebih tinggi dari bendera merah putih”, tuturnya.
Orang tua remaja tersebut juga menyayangkan tindakan tergesa-gesa warga dan pihak Ketua RT setempat yang tidak terlebih dahulu melakukan klarifikasi atau pendekatan secara personal kepada pihak keluarga.
Pada Selasa malam, 5 Agustus 2025, ketegangan kembali terjadi. Pihak Ketua RT mendatangi rumah remaja tersebut dan secara paksa meminta agar bendera segera diturunkan. Dalam percakapan langsung tersebut, Ketua RT juga menyampaikan peringatan bernada ancaman kepada pihak keluarga.
“Jika besok ada pihak dari kepolisian, pihak koramil, atau pihak pemerintah daerah terkait yang datang ke rumah, jangan salahkan saya ya,” ucap Ketua RT tersebut.
Situasi ini membuat pihak keluarga merasa tertekan dan semakin tidak nyaman atas perlakuan yang mereka terima.
Pada hari Rabu, 6 Agustus 2025, pihak kepolisian, pihak Babinsa dari Koramil, dan pihak pemerintah daerah terkait benar-benar datang ke rumah. Mereka meminta yang terkait untuk menghubungi orang tuanya yang kebetulan sedang tidak berada di rumah saat itu, serta mengonfirmasi agar bendera tersebut diturunkan secara paksa.
Namun di sisi lain, yang bersangkutan sempat meminta penjelasan secara langsung kepada salah satu anggota Babinsa dari Koramil mengenai dasar kesalahannya secara transparan. Amat disayangkan, tidak ada jawaban atau penjelasan resmi yang diberikan oleh pihak Babinsa, meskipun pertanyaan tersebut disampaikan secara baik-baik.
Kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat dan aparatur wilayah mengenai pentingnya literasi budaya, komunikasi yang bijak, serta pendekatan yang humanis dalam menghadapi hal-hal yang tidak dipahami secara utuh.
Di era digital yang sarat dengan ekspresi visual dan budaya populer lintas negara, diperlukan keterbukaan dan kehati-hatian dalam menilai suatu simbol atau tindakan. Diharapkan, ke depannya, setiap persoalan serupa dapat disikapi melalui dialog, edukasi, dan klarifikasi terlebih dahulu, bukan dengan tindakan represif atau intimidatif. Sinergi antara warga, tokoh masyarakat, dan aparat akan menjadi kunci terciptanya lingkungan yang aman, inklusif, dan saling menghargai perbedaan.
Penulis:
(Fajar Novryanto, Universitas Persada Indonesia Y.A.I)
