Pilar Keempat Demokrasi Retak, Ketika Negara Tak Lagi Takut Membungkam Pers

Editor:

[galeri_foto] [youtube_embed]

Bagikan

BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kemerdekaan pers merupakan hak asasi warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh negara. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”, dan ayat (2) menegaskan bahwa “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”.

Artinya, pers tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif, tidak boleh dibungkam, dan tidak boleh diintimidasi terutama oleh negara. Pers memiliki tugas tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga mengkritisi dan mengawasi kekuasaan. Oleh karena itu, media dianggap sebagai pilar keempat dalam demokrasi, setara dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika media hancur, demokrasi perlahan akan runtuh.

Sayangnya, prinsip luhur ini semakin sulit dicapai. Kekerasan terhadap jurnalis semakin meningkat, penyensoran karya seni dan media menjadi hal yang lumrah, dan tekanan terhadap ruang redaksi datang dari kekuatan politik dan ekonomi.

Namun, membungkam pers tidak hanya membatasi suara jurnalis tetapi juga berarti mengingkari hak publik untuk mengetahui, memahami, dan berbicara. Jadi, kita harus bertanya: jika negara tidak dapat menjamin keamanan dan kebebasan pers, apakah kita masih dapat menyebut diri sebagai negara demokrasi?

Menurut laporan Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025 yang diterbitkan Reporters Without Borders (RSF), Indonesia berada di peringkat 127 dari 180 negara, turun dari peringkat 111 pada 2024 dan peringkat 108 pada 2023. Penurunan ini mengindikasikan adanya penurunan kondisi kebebasan pers di Indonesia.

Di sisi lain, Indeks Kebebasan Pers (IKP) yang diterbitkan Dewan Pers mencatat angka 69,36 pada 2024, turun dari 71,57 pada tahun sebelumnya. Angka ini menempatkan Indonesia dalam kategori “cukup bebas”.

“Penurunan angka IKP itu memperlihatkan, bahwa kondisi pers nasional tidak sedang baik-baik saja. Hal itu bisa dilihat dari lingkungan ekonomi, hukum, maupun politik yang berpengaruh terhadap angka IKP nasional,” kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, saat membuka Peluncuran Hasil Survei IKP 2024 Dewan Pers yang diadakan di Hotel Gran Melia Jakarta (05/11/2024), dilansir dari Tempo

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 73 insiden kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2024. Ini bukan sekadar statistik, melainkan gambaran meningkatnya ketakutan. Jurnalis mengalami pemukulan, teror, pelarangan liputan, bahkan pembunuhan.

Siapa yang bertanggung jawab? Sebagian besar berasal dari lembaga yang seharusnya memberikan perlindungan: kepolisian, TNI, dan pejabat pemerintah. Kalau negara yang menjadi pelanggar, kepada siapa kita bisa melapor?

Di tengah tekanan politik, ancaman kriminalisasi, dan intimidasi terhadap jurnalis, ruang ekspresi di Indonesia semakin menyempit. Berbagai pemberitaan menunjukkan kekerasan terhadap jurnalis makin marak, sementara media independen terus mendapat tekanan dari penguasa, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ketika pihak yang seharusnya memberikan perlindungan justru melakukan tindak kekerasan, dan kritik dianggap sebagai ancaman, maka suara kebenaran terancam hilang dari ruang publik.

“Kebebasan pers di Indonesia terus memburuk dan masa depan jurnalisme independen makin mencemaskan,” ujar Nany Afrida Ketua Umum AJI Indonesia, dilansir dari AJI.

Kasus pembunuhan jurnalis Rico Sempurna Pasaribu di Karo, Sumatera Utara, merupakan salah satu peristiwa tragis paling kelam dalam sejarah media Indonesia.

Awalnya diduga sebagai kebakaran biasa, namun setelah diselidiki lebih mendalam, insiden tersebut merupakan pembunuhan berencana, terkait laporan korban tentang dugaan praktik perjudian yang melibatkan anggota TNI. Rico bukan satu-satunya korban, istrinya, br Sembiring (35 tahun), dan kedua anaknya, Mery Yuriska Pasaribu (5 tahun) dan Marvin Pasaribu (2 tahun), juga tewas terbakar dalam insiden yang disengaja tersebut.

Tiga pelaku telah dijatuhi hukuman berat, namun dugaan keterlibatan aktor intelektual termasuk dari militer masih menjadi pertanyaan besar yang belum terpecahkan. Peristiwa ini menunjukkan betapa rentannya keselamatan jurnalis yang berani mengungkap kebenaran di Indonesia.

Ketika aparat penegak hukum tidak mampu mengidentifikasi motif pembunuhan secara akurat sejak awal, peran organisasi masyarakat sipil seperti Komite Keselamatan Jurnalis menjadi sangat penting dalam memperjuangkan keadilan.

Sayangnya, hingga kini belum ada kepastian hukum terkait siapa dalang utama di balik tindakan keji tersebut. Pemerintah perlu menggunakan kasus ini sebagai kesempatan untuk memperkuat perlindungan hukum bagi jurnalis dan menunjukkan komitmen nyata terhadap kebebasan pers. Tanpa keadilan bagi Rico dan keluarganya, ketakutan akan terus menghantui ruang redaksi di seluruh Indonesia.

Sepanjang Desember 2024 hingga Februari 2025, Indonesia mengalami serangkaian aksi yang mengganggu kebebasan berekspresi dalam seni. Pameran lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional dibatalkan dengan alasan tema yang diangkat tidak tepat, padahal karya-karyanya mengandung kritik sosial yang sangat bermakna.

Tak lama kemudian, pementasan teater “Wawancara dengan Mulyono” yang digelar di ISBI Bandung dilarang, dan lagu “Bayar Bayar Bayar” karya band punk Sukatani ditarik dari peredaran. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk membungkam suara-suara kritis dalam dunia seni, yang seharusnya menjadi wadah kebebasan berekspresi dalam masyarakat yang demokratis.

Pembatasan terhadap karya seni tidak hanya merugikan seniman, tetapi juga masyarakat yang berhak memiliki berbagai sudut pandang. Ketika negara mulai memberlakukan pembatasan terhadap ekspresi seni, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah ini masih termasuk dalam kategori demokrasi atau sudah berubah menjadi otoritarianisme? Seni berfungsi sebagai cermin bagi masyarakat; jika kita membungkamnya, itu berarti menolak mengakui diri kita sendiri. Sekaranglah saatnya bagi kita untuk menolak penerimaan sensor dan mendukung seniman yang berani mengekspresikan pendapat mereka melalui karya mereka.

Dalam empat hari, redaksi Tempo menghadapi tiga jenis teror yang sangat mengkhawatirkan: mengirim kepala babi, mayat tikus, dan doxing jurnalisnya. Tindakan-tindakan ini bukan sekadar ancaman fisik, tetapi ancaman serius bagi kebebasan pers di Indonesia. Ketika media yang berani mengungkap kebenaran justru menjadi sasaran teror, kita perlu merenung: seberapa amankah jurnalis dalam menjalankan tugasnya? Peristiwa ini mencerminkan upaya terencana untuk membungkam suara kritis dan mengendalikan narasi di masyarakat.

Pemimpin Redaksi Tempo Setri Yasra menyatakan pengiriman kepala babi dan tikus itu merupakan tindakan teror terhadap aktivitas jurnalistik dan kebebasan pers. Namun, ia menegaskan bahwa redaksi Tempo tidak gentar menghadapi berbagai bentuk ancaman. Mereka telah melaporkan kejadian ini beserta bukti-bukti yang ada ke Mabes Polri pada Jumat.

Kebebasan pers merupakan pilar utama demokrasi. Jika jurnalis terus-menerus menghadapi intimidasi, informasi yang diterima publik akan terdistorsi. Pemerintah dan penegak hukum harus segera mengusut tuntas kasus-kasus teror ini dan memastikan perlindungan bagi jurnalis. Tanpa langkah tegas, kita berpotensi kehilangan media yang independen dan bebas, serta membiarkan ketakutan menguasai ruang publik.

Apa yang bisa kita lakukan? Pertama, negara harus berhenti menjadi pelaku. Presiden dan pejabat tinggi harus memberikan sinyal yang kuat bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidak akan terjadi, bukan hanya diam saja atau menutupi masalah.

Kedua, penegakan hukum harus dilakukan secara terbuka dan berpihak pada korban, bukan pada pelaku yang berseragam.

Ketiga, masyarakat sipil harus bersuara, menolak normalisasi kekerasan ini. Kita tidak bisa membiarkan media terus hidup dalam ketakutan.

Tanpa kebebasan pers, tidak akan ada transparansi, tidak ada akuntabilitas, dan akhirnya, tidak ada demokrasi. Dalam kebungkaman media, yang menang bukan hanya pelaku kekerasan, tetapi juga kegelapan.

Mendukung kebebasan pers sama halnya mendukung demokrasi itu sendiri. Dan itu adalah tanggung jawab kita bersama.

 

Penulis: 

 

Iqbal Hapidin Febrian

 

Baca berita lainnya di Google News dan Whatsapp Channel
Berita Terkait
Berita Terkini
Vior Hamil
Vior Umumkan Hamil Pertama! Ngaku Dapat 'Keajaiban' Bareng Vincent
perkosaan massal 1998
PKB Desak Fadli Zon Ralat Pernyataan Soal Perkosaan Massal 1998
Lapas Indramayu panen selada bokor hidroponik
Di Balik Jeruji Besi, Warga Binaan Lapas Indramayu Sumringah Panen Selada Hidroponik
audio-overviews-google-testing-ai-podcasts-feature-for-search-results-techjuice-179842
Pencarian Google Kini Bernarasi, AI Ubah Jawaban Jadi Siniar Interaktif
daftar ketua umu PSI bro ron
Daftar Jadi Ketum PSI, Bro Ron: Saya Aktivis, Cara Saya Agak Kontroversial!
Berita Lainnya

1

Fokus yang Hilang: Kesadaran Tak Lagi Menyatu dalam Perspektif Psikologi Kognitif

2

Dosen dan Mahasiswa Fakultas Komunikasi dan Desain UNIBI Bantu Aktivasi Medsos Klinik Permata Jati Garut

3

Cristiano Ronaldo Kirim Jersey Bertanda Tangan untuk Donald Trump, Begini Isinya

4

Roadshow Suar Mahasiswa Awards Sukses Digelar di UIN SGD Bandung

5

Daftar Pajak Isuzu Panter 2024, Lengkap Semua Tipe!
Headline
PDIP tulis ulang sejarah
PDIP Bakal Tulis Ulang Sejarah Tandingan Usai Fadli Zon Hapus Perkosaan Massal 1998
dokter cabul cirebon
Lagi-lagi Kasus Dokter Cabul! Kali Ini di Cirebon, Nakes Perempuan Jadi Korban
Real Madrid
Link Live Streaming Real Madrid vs Al Hilal Piala Dunia Antarklub 2025 Selain Yalla Shoot
Manchester City
Link Live Streaming Manchester City vs Wydad Casablanca Piala Dunia Antarklub 2025 Selain Yalla Shoot

Dapatkan fitur lebih lengkap di aplikasi Teropong Media.