BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Selebgram Fanny Kondoh tak kuasa menahan air mata saat mengenang perjuangannya menjalani program bayi tabung.
Program bayi tabung itu dijalankan di tengah kondisi suaminya, Hajime Kondoh, CEO PT Sriboga Marugame Indonesia, yang saat itu berada dalam perawatan paliatif akibat kanker kandung kemih.
Dengan vonis dokter yang memperkirakan suaminya hanya memiliki enam bulan sisa usia, Fanny sempat dilanda keraguan untuk melanjutkan program bayi tabung.
Awal Mula Program Bayi Tabung
Sebelum Hajime Kondoh mengetahui kondisi kesehatannya, pasangan ini sudah mencoba program bayi tabung sejak 2019. Sayangnya, dua kali percobaan berakhir dengan kegagalan.
Setelah menjalani berbagai pemeriksaan lebih lanjut, Fanny akhirnya mengetahui bahwa ia mengalami pengentalan darah, yang menjadi salah satu penyebab kegagalannya.
“Aku PCOS, telurku kecil-kecil, katanya embrionya kurang bagus,” ujar Fanny dalam wawancara di kanal YouTube Curhat Bang Denny Sumargo.
Karena hasil yang belum memuaskan, Fanny memutuskan pindah klinik dan menemukan bahwa masalah pengentalan darahnya menghambat nutrisi untuk mencapai janin. Temuan ini menjadi titik awal strategi baru dalam program bayi tabung mereka.
Keinginan Terakhir Hajime Kondoh
Ketika mereka tengah bersiap untuk menjalani program bayi tabung kembali, kabar mengejutkan datang. Hajime divonis dokter hanya memiliki waktu enam bulan untuk hidup. Fanny pun diliputi ketakutan akan masa depannya dan buah hati mereka.
“Aku takut, gimana aku membesarkan anak tanpa kamu? Nafkahnya gimana?” ucap Fanny dengan suara bergetar.
Namun, sang suami tetap meyakinkannya untuk terus berusaha. “Ayolah, ayolah,” kata Hajime, memohon setiap bulan agar mereka tetap mencoba.
Dengan penuh haru, Fanny Kondoh akhirnya luluh dan memutuskan untuk memenuhi permintaan suaminya.
BACA JUGA:
Viral! Wisatawan Nekat Keluar dari Mobil di Area Satwa Liar Taman Safari Bogor
Syarat dan Pertimbangan Donor Sperma untuk Membantu Kehamilan
Alasan Fanny Mengambil Risiko
Meskipun penuh ketidakpastian, Fanny memilih untuk tetap melanjutkan program bayi tabung dengan prinsip nothing to lose.
“Aku pikir, ya sudah, transfer saja embrionya tanpa tekanan harus hamil atau tidak. Yang penting aku sudah melakukan apa yang dia inginkan,” jelasnya.
Fanny juga berharap, kehamilan ini bisa memberi semangat hidup tambahan bagi suaminya.
“Siapa tahu kalau aku hamil, dia jadi ingin bertahan hidup lebih lama. Mungkin saja bisa sembuh, siapa yang tahu?” lanjutnya dengan senyum getir.
Dalam kondisi Hajime yang semakin melemah, mendapatkan sperma berkualitas menjadi tantangan tersendiri. Dari lima embrio yang dihasilkan, hanya satu yang dianggap terbaik. Embrio lainnya memiliki risiko tinggi mengalami down syndrome jika tetap digunakan.
Keputusan besar pun harus diambil. Di tengah perjuangan suaminya melawan penyakit, Fanny terus melangkah dengan keyakinan bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk memenuhi keinginan terakhir Hajime.
(Hafidah Rismayanti/Aak)