BANDUNG.TM Pada 23 Agustus tahun 1973, ada dua perampok bank Stockholm, Swedia menyandera 4 korban selama 131 jam. Setelah itu mereka dibebaskan dari segala ancaman dan kekerasan. Korbannya malah menunjukkan sikap suportif pada perampok.
Kemudian, Psikiatris, menyelidiki anomali tersebut pada korban. Lalu hal ini dikenal dengan sebutan Stockholm Syndrome. Sindrom ini merupakan kecenderungan seseorang untuk terikat dengan pelaku toxic relationship.
Awal Mula Hubungan Berbeda
Pelaku dan koban dari sindrom Stockholm ini tidak memiliki hubungan. Korban dengan perampok di kejadian Stockholm tersebut tidak saling mengenal. Saat itu korban dalam kondisi takut dan tersiksa. Sementara. trauma bonding sebelumnya sudah memiliki hubungan dengan pelaku. Kekerasan trauma bonding ini tersirat dan dikenalkan sedikit demi sedikit.
Perbedaan Situasi yang Membentuk
Korban dari Sindrom Stockholm ada di situasi antara hidup dan mati. Semua aspek hidupnya bergantung pada pelaku. Segala bentuk komunikasi dan infromasinya berasal dari satu sumber saja. Sementara trauma bonding hanya mengancam aspek kehidupan tertentu. Korban masih bisa memperoleh masukan dari orang lain.
Arah Manipulasi yang Tidak Sama
Manipuasi yang terjadi pada sindrom ini adalah keyakinan bahwa pelaku melakukan kejahatan karena terdesak. Hal tersebut yang menyebabkan korban merasa iba, sangat empati, dan percaya. Jika trauma bonding adalah di manipulasi sehingga korban menormalisasi adanya selingkuh, kekerasan, dan lainnya. Korban juga merasa perilaku buruk pelaku karena kesalahan dirinya.
Lalu Apa Sikap Akhirnya?
Korban dari Sindrom ini akan menaruh iba dan memiliki sifat positif pada pelaku. Hal tersebut merupakan sebuah akumulasi dari manipulasi yang pelaku berikan. Sementara, korban trauma bonding bisa saja mengabaikan atu memutus hubungan dengan pelaku.
Tapi ada keterkaitan yang menbuat korban ini ingin mendapat kasih sayang dan perhatian dari pelaku. Pasalnya Sindrom Stockholm dan trauma bonding mempunyai perilaku yang mirip yaitu menjadi cinta dengan orang yang membuat trauma. Tapi keduanya tidak bisa kita samakan. Semoga kita terhindar dari situasi seperti ini ya.
BACA JUGA: Dampak Child Abuse Pada Anak, Ngeri!
(Kaje)