JAKARTA,TEROPONGMEDIA.ID — Pengamat politik Emrus Sihombing menilai bahwa negara demokrasi seharusnya memiliki adab dalam demokrasi tapi kenyataannya pilkada 2024 terlihat seperti pembagian kelompok demi kekuasaan.
“Belakangan ini, setiap hari orang membicarakan tentang Pilkada serentak. Semua partai saling mencari teman untuk membentuk kelompok politik mengusung dan mendukung pasangan calon Pilkada, sebagai politik prakmatis,” kata Emrus dalam keteranganya, Sabtu (24/8/2024).
Karena itu, kata Emrus yang elit partai lakukan tersebut bukan berkoalisi. Sebab, koalisi berbasis ideologi dan relatif parmanen, maka lebih tepat disebut sebagai kerja sama politik transaksional.
Perilaku politik elit partai tersebut membuat kita teringat dengan permainan ketika masa usia anak-anak. Pemandu mengatakan.
“Ayo kita semua sama-sama cari teman sebanyak-banyaknya dan bentuk kelompok ya,” ujarnya.
Lalu, setiap peserta berlari kesana-kemari mencari teman dengan saling berpegangan yang akhirnya menyisakan satu orang. Orang yang satu ini diberi semacam “hukuman”, tergantung pemandu acara, apa hukumannya.
Emrus menyebutkan, permainan anak-anak ini, tampaknya mirip seperti pembentukan kelompok sejumlah partai politik untuk mengusung dan mendukung paslon di suatu daerah Pilkada tertentu, sehingga membuat partai tertentu tidak cukup kursi DPRD membawa Paslon Pilkada.
“Inilah politik akal-akalan yang sama sekali tidak sejalan dengan nilai Pancasila,” ucapnya.
Mau bukti? Sudah dibentuk dan diumumkan nama koalisi, sebut saja Koalisi Maju (KM) misalnya, dan mewacanakan nama bakal calon Pilkada yang akan mereka usung, tiba-tiba saja masih ada satu-dua partai menyatakan bergabung ke koalisi tersebut dengan menyebut KM plus.
” Seolah mereka tak berdaya membentuk kelompok partai untuk mengusung/mendukung pasangan bakal calon lain. Bisa jadi karena elit partai tersebut “tersandera” sehingga tidak percaya diri membentuk dan mengusung bakal pasangan lain,” imbuhnya.
Dengan demikian, para elit partai politik seolah membuat Pilkada sebagai main-mainan saja sebagaimana dilakukan anak-anak, yaitu berkumpul menjadi satu untuk mencalonkan sepasang kandidat pemimpin di daerah, sehingga sengaja menyisakan satu atau dua partai saja di luar kumpulan mereka yang tidak mungkin mengusung karena tidak dapat memenuhi jumlah kursi DPRD untuk nembawa mencalonkan pasangan kandidat.
Otomatis satu atau dua partai seolah mendapat “hukuman”, gagal mencalonkan kandidat pemimpin di suatu daerah. Ini dapat disebut sebagai pembunuhan kedaulatan rakyat. Malu dong.
Tentu, publik menjadi bertanya, apa yang ada di benak para elit utama partai yang ikut main-main politik ini? Boleh jadi mereka menganggap politik itu mainan belaka sebagaimana dilakukan oleh anak-anak.
Karena itu, sangat wajar publik mempertanyakan di mana nurani dan intelektual para elit partai yang ikut bermain-main politik ala anak-anak.
Padahal, publik berharap para elit partai memiliki kepemimpinan yang visioner, ideologis bukan prakmatis, intelektual di bidangnya dan independent.
Jika betul harapan ini teruji, pertanyaan selanjutnya, mengapa mereka masih beramai-ramai berkelompok sehingga seolah-olah menciptakan calon tunggal (manusia) berhadapan dengan kotak kosong sebagai benda mati yang tidak pernah sekolah itu. Ini dapat disebut sebagai politik aneh, alias tidak sejalan dengan kemanusiaan yang beradab.
Lalu yang menarik disimak, pasti ada pemandu permainan terbentuknya calon tinggal itu. Tidak mungkin tidak ada pemandu. Sebagai pemandu, ia pemilik kuasa dan relasi kuasa yang _power full_.
Melihat perilaku elit politik sebagai mana tersaji di atas, tak terbayangkan oleh publik betapa sedihnya hati para pejuang republik ini menyaksikan bahwa kontestasi politik negeri ini dianggap sebagai arena main-mainan oleh para elit partai.
“Juga betapa kecewanya para konstituen melihat wakil-wakilnya di DPR sana seperti tak berkutik. Padahal mereka dipilih rakyat bukan dipilih oleh elit partai. Apa yang akan terjadi jika politik di negara ini dianggap lahan main-mainan pemilk kekuasaan,” sebutnya
Betapa menyedihkannya jika calon pasangan pimpinan daerah yang pendidikannya minimal SMA harus berhadapan dengan kotak kosong yang tak pernah sekolah, tak punya hati dan jiwa, tak bisa mendengar, dan tak mampu memandang lawan dan tak mampu menjawab jika dilakukan debat kandidat.
Lalu, terbayangkah perasaan pasangan calon kandidat yang akan melawan kotak kosong? Tidakkah ada rasa malu bahwa dirinya disetarakan dengan benda mati (kotak kosong)? Kalau nanti dirinya kalah melawan benda mati, sakit dan malu.
BACA JUGA: Oknum Polri-TNI Pukuli Wartawan saat Liput Demo Tolak Revisi UU Pilkada
“Kalau dirinya menang, ia malu dan sakit. Setiap saat bahkan seumur hidupnya sampai ke anak-cucu dan cicit akan terwariskan sejarah menang karena melawan benda mati, apalagi kalah melawan benda mati,” terangnya.
Karena itu, pertanyaan kritikal, masihkah mau menjadi calon tunggal lawan benda mati? Beranikah menolak jika dijadikan calon tunggal? Seperti kata pepatah” takut karena salah, berani karena benar”
” Semoga Tuhan memimpin sosok pemeran “pemandu” partai politik di negeri ini menjalankan fungsinya dengan hati yang takut akan Tuhan,” jelasnya.
(Agus Irawan/Usk)