JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Penempatan prajurit TNI untuk menjaga kantor kejaksaan di seluruh wilayah Indonesia dinilai dapat menimbulkan dampak negatif, baik bagi institusi TNI itu sendiri maupun bagi pemerintahan Presiden Prabowo.
“Meskipun tujuannya baik, tapi dampaknya negatif. Di satu sisi dapat men-down-grade institusi TNI dan sisi lain menciptakan kesan militerisme terhadap pemerintahan Pak Prabowo,” kata Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, kepada wartawan, Senin (12/5/2025).
Menurutnya, selama ini TNI sering kali menempati peringkat teratas dalam berbagai jajak pendapat tentang citra lembaga negara. Hal itu karena dalam menjalankan fungsinya sebagai alat pertahanan negara, TNI tidak bersentuhan langsung dengan urusan sipil.
Namun Revisi UU TNI yang memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif telah menjadi sentimen negatif bagi citra TNI. Publik khawatir kembalinya dwifungsi militer lantaran secara perlahan TNI semakin dalam masuk ke ranah sipil.
Dari jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 17-20 Maret 2025, hampir 70 persen masyarakat merasa khawatir dan menganggapnya sebagai kemunduran reformasi.
Baca Juga:
Kapuspen TNI Jelaskan terkait Pengamanan di Kejaksaan
Prajurit TNI Dikerahkan ke Kantor Kejaksaan se-Indonesia, Kejagung Angkat Bicara
“Kini dengan pengerahan prajurit TNI secara masif ke Kejaksaan yang notabene instansi sipil, seakan menjadi jawaban sekaligus pembenar dari kekhawatiran yang sebelumnya sudah ada di tengah masyarakat. Tentunya ini akan berpotensi membuat citra TNI merosot,” ungkap R Haidar Alwi.
Sementara citra bagian dari orde baru telah melekat pada diri Presiden Prabowo. Setiap masa-masa kampanye yang mana beliau mencalonkan diri sebagai calon presiden selalu diwarnai oleh isu kebangkitan orde baru atau neo-orba.
Lawan politik menyebut orde baru akan bangkit jika Prabowo menjadi Presiden. Bahkan kebijakan-kebijakannya setelah terpilih pun kerap dihubung-hubungkan dengan masa itu. Mulai dari pembekalan kabinet ala-ala milter di Magelang, pengiriman siswa ke barak oleh Gubernur Jabar Dedi Mulyadi dari Partai Gerindra sampai ekspansi milter keluar barak masuk ke ranah sipil.
Presiden Prabowo sendiri beserta jajarannya di Partai Gerindra maupun tim pemenangannya saat Pilpres berkali-kali membantah akan memimpin dengan militerisme.
“Tidak mudah meyakinkan publik hingga Pak Prabowo terlebih dahulu harus gagal berkali-kali di Pilpres. Jangan sampai kerjasama TNI dengan Kejaksaan membuat kepercayaan publik terhadap Presiden Prabowo yang hampir mencapai 90 persen juga ikut melorot,” tutur R Haidar Alwi.
Keberadaan satuan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer di kejaksaan dinilai tidak dapat dijadikan alasan untuk mengerahkan prajurit TNI secara masif. Selain potensi benturan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, menimbulkan kegaduhan hingga mengganggu stabilitas nasional, keamanan dalam negeri merupakan tugas utama Polri.
“Apapun alasannya, keamanan dalam negeri adalah tugas Polri. TNI bisa diperbantukan itu pun harus berkoordinasi dengan Polri. Kecuali dalam keadaan sangat-sangat darurat dan memaksa. Kan kita tidak dalam kondisi sedarurat itu,” pungkas R Haidar Alwi. (Agus Irawan/Usk)