JAKARTA, SUAR MAHASISWA AWARDS — Pelantikan Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) masa khidmat 2025–2030 yang berlangsung khidmat di Hotel Bidakara, Jakarta, menjadi lebih dari sekedar seremoni organisasi. Di tengah arus zaman yang menuntut kolaborasi antara intelektualisme dan spiritualitas, momen ini menjadi titik tolak bagi ISNU untuk meneguhkan kembali posisinya sebagai kekuatan moral dan keilmuan di tengah masyarakat.
Acara pelantikan ini dihadiri oleh sejumlah tokoh bangsa dan pemimpin penting dalam pemerintahan. Hadir dalam kesempatan tersebut Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12, Drs. H. M. Jusuf Kalla; Wakil Presiden Republik Indonesia ke-13, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin; Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Republik Indonesia; Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU); serta Ketua Umum Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Republik Indonesia. Deretan tokoh ini bukan sekedar memperlihatkan legitimasi formal ISNU, melainkan juga menunjukkan harapan besar publik terhadap kiprah ke depan para sarjana Nahdliyin.
Namun pelantikan bukanlah pencapaian, melainkan awal mula dari sebuah perjalanan. Tantangan kebangsaan masa kini kian kompleks: krisis identitas, disinformasi digital, disorientasi arah pendidikan, hingga keterputusan antara elit intelektual dan masyarakat akar rumput. Dalam lanskap ini, ISNU tak bisa hanya menjadi simbol dari gelar akademik semata. Ia dituntut hadir sebagai agen perubahan sosial berbasis ilmu, nilai, dan keberpihakan pada umat. Para sarjana NU harus kembali membumikan ilmu sebagai alat pemberdayaan, bukan sekedar retorika dalam seminar atau forum terbatas.
Kini, yang dinanti bukan hanya struktur dan susunan nama dalam kepengurusan, tetapi strategi dan aksi nyata yang ditawarkan kepada umat dan bangsa. Bagaimana ISNU akan bersinergi dengan pemerintah dalam isu ketahanan pangan, pendidikan, dan ekonomi umat? Bagaimana ISNU menjaga independensi keilmuan sekaligus tetap berpihak kepada nilai-nilai keadilan sosial? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menentukan apakah pelantikan ini hanya menjadi peristiwa tahunan, atau benar-benar menjadi momentum kebangkitan intelektual Nahdliyin untuk merawat ilmu dan menguatkan umat.
Penulis:
(Fajar Novryanto, Universitas Persada Indonesia Y.A.I)