BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Organisasi masyarakat (Ormas) bukan hanya menggangu kelancaran dan keberlangsungan dunia usaha di kawasan industri, namun juga perusahaan yang beroperasi di luar kawasan industry hal tersebut diungkapkan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik.
“Gangguan tersebut dapat berupa pemaksaan penggunaan material bangunan dari kelompok tertentu, intervensi dalam proses penerimaan karyawan, serta pemaksaan dalam pengadaan katering atau barang lainnya,”ucap Ning mengutip Radio Republik Indonesia, Jumat (21/2/025).
Ia juga menambahkan, selain itu terdapat pula pemaksaan dalam pengelolaan limbah. Gangguan lainnya meliputi pungutan uang keamanan, yang bahkan berlaku untuk kendaraan logistik yang keluar masuk area industri, hingga pemblokiran akses menuju perusahaan atau kawasan industri.
Ning mengungkapkan, pihaknya bukan tidak mau melibatkan Ormas dalam kemitraan usaha. Namun resiko dan tantangan yang bakal dihadapi perusahaan ketika memberikan kontrak kerja kepada masyarakat setempat, cukup besar.
“Contohnya dalam pengadaan katering, di mana pada awalnya supply berjalan lancar selama 1-2 minggu, namun kemudian mengalami kendala seperti keterlambatan bahan baku, atau penurunan kualitas yang tidak sesuai standar. Mereka juga kurang memahami bahwa dalam hal pemenuhan katering, terdapat persyaratan dari buyer seperti aspek kebersihan (hygiene), kualitas bahan makanan, serta standar gizi seperti kandungan kalori harus benar-benar diperhatikan,”jelas Ning.
“Kendala juga terjadi dalam hal pengadaan material bangunan di mana supply berjalan lancar dalam beberapa hari pertama, namun kemudian mengalami kendala seperti keterlambatan pengiriman, menurunnya kualitas, dan banyak dari mereka tidak memiliki modal dan pengetahuan yang cukup, sehingga pada ujungnya mereka menjual kontrak tersebut kepada pihak lain,”lanjut Ning.
Tantangan serupa juga terjadi dalam pengelolaan limbah. Dikatakan Ning, perusahaan telah menerapkan standar go green, sementara masyarakat sering kali belum memahami prinsip tersebut dan hanya mengambil serta membuang limbah secara sembarangan.
Kondisi tersebut menurut Ning berisiko merusak reputasi brand, terutama jika limbah dengan logo perusahaan ditemukan dibuang tidak sesuai prosedur.
“Dalam hal perekrutan tenaga kerja melalui Ormas, sering kali ditemukan ketidaksesuaian kriteria tenaga kerja dengan persyaratan perusahaan. Beberapa pihak cenderung lebih mengutamakan kepentingan mereka sendiri tanpa mempertimbangkan aspek legalitas dan kelayakan calon pekerja. Buyer menetapkan bahwa dalam proses rekrutmen tidak boleh ada biaya tambahan yang dibebankan kepada calon pekerja, sedangkan ormas ini hampir bisa dipastikan meminta itu,”ujar Ning.
Ning juga menjelaskan, akar permasalahan yang menimbulkan gangguan Ormas tersebut dipicu oleh kecemburuan sosial, terutama akibat rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja dari daerah sekitar, sementara banyak pekerja justru berasal dari luar daerah.
Kondisi ini terjadi karena ketidaksesuaian kualifikasi tenaga kerja dengan persyaratan yang dibutuhkan perusahaan. Padahal, para pengusaha sebenarnya lebih memilih untuk mengutamakan pekerja yang berdomisili di sekitar lokasi perusahaan.
“Pengusaha cenderung lebih memilih bekerja sama dengan mitra yang sudah memiliki kualitas terjamin karena masih minimnya pemahaman masyarakat terhadap persyaratan perusahaan dan standar yang ditetapkan oleh buyer, serta kurangnya kesiapan masyarakat untuk menjadi mitra bisnis perusahaan,”jelas Ning.
Selain itu, gangguan dari Ormas juga terus terjadi karena lemahnya penegakan hukum. Ketidaktegasan dalam menangani gangguan ini semakin memperburuk kondisi dunia usaha serta dapat menurunkan kepercayaan para investor.
Ia berharap pemerintah daerah dapat melakukan pembinaan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga keberlangsungan perusahaan di sekitar mereka untuk menghindari masalah di lapangan yang terkadang bisa berlarut-larut.
Kesadaran perlu ditingkatkan bahwa perusahaan-perusahaan ini merupakan sumber penghidupan bagi ratusan hingga ribuan keluarga. Masyarakat juga perlu dipersiapkan agar memenuhi kriteria tenaga kerja yang dibutuhkan perusahaan.
Apabila selama ini banyak pihak menekankan pentingnya pembekalan hard skill, Ketua APINDO Jawa Barat menegaskan bahwa soft skill juga memegang peran krusial dalam membentuk tenaga kerja yang berkualitas.
BACA JUGA:
HKI: Investasi Ratusan Triliun Batal karena Oknum Ormas
Pandangan APINDO terkait SK Gubernur tentang UMSK Kabupaten/Kota di Jawa Barat
“Tidak hanya itu, untuk menyiapkan masyarakat yang siap menjadi mitra bisnis yang kompeten, masyarakat juga perlu dibekali dengan wawasan kewirausahaan serta pemahaman mengenai compliance di perusahaan,”ucapnya.
Ning juga menekankan bahwa pembinaan dan pelatihan juga perlu diiringi dengan penegakan hukum yang tegas agar menciptakan efek jera dan menghilangkan gangguan dari ormas dalam jangka panjang. Ia juga menyatakan, bahwa Jawa Barat memiliki potensi besar, namun juga memiliki jumlah pengangguran yang tinggi. Sehingga jangan sampai pihak-pihak yang mengganggu dunia usaha dibiarkan leluasa, sehingga investor menjadi jera untuk berinvestasi.
“APINDO Jabar siap bekerja sama dengan pemerintah maupun para stakeholder lainnya untuk melakukan penyuluhan, edukasi, serta pelatihan yang memadai bagi masyarakat di sekitar kawasan industri maupun di sekitar industri di luar kawasan,”tutup Ning.
(Usk)