CIREBON, TEROPONGMEDIA.ID — Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-15 (sekitar 1430 M), Pangeran Cakrabuwana, putra mahkota Kerajaan Pajajaran, mendirikan sebuah keraton yang kemudian dihibahkan kepada putrinya, Ratu Ayu Pakungwati. Keraton inilah yang kemudian dikenal sebagai Dalem Agung Pakungwati, menjadi cikal bakal perkembangan Kesultanan Cirebon.
Mengutip laman Keraton Kasepuhan, sebagai salah satu kota tertua di pesisir utara pulau Jawa, Cirebon menyimpan warisan sejarah yang tak ternilai dari masa kejayaan kerajaan Islam. Bukti kejayaan itu masih terpelihara dengan baik dalam bentuk bangunan-bangunan bersejarah, salah satunya Rumah Adat Kasepuhan yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang kota ini.
Memasuki abad ke-16, tepatnya tahun 1529 M (1451 Saka), Pangeran Emas Muhammad Arifin, cicit Sunan Gunung Jati, mendirikan keraton baru di sebelah barat daya Dalem Agung Pakungwati. Sang pangeran kemudian bergelar Panembahan Pakungwati I, melanjutkan estafet kepemimpinan di wilayah ini.
Tragedi kebakaran Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada 1549 M menjadi momen penting dalam sejarah Cirebon. Ratu Ayu Pakungwati yang saat itu sudah sepuh turun tangan memadamkan api, namun akhirnya meninggal dunia. Peristiwa ini mengabadikan nama Pakungwati dalam ingatan kolektif masyarakat Cirebon.
Keunikan arsitektur Keraton Kasepuhan juga mengandung filosofi mendalam. Bangunan yang membujur dari utara ke selatan ini menghadap ke utara, mengikuti pola keraton-keraton Jawa lainnya. Ini bukan sekadar orientasi bangunan, melainkan simbol pengharapan sang raja akan kekuatan spiritual.
Hingga kini, warisan sejarah tersebut tetap terpelihara dengan baik, menjadi daya tarik wisata budaya sekaligus bukti nyata peran penting Cirebon dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Pemerintah setempat terus berupaya melestarikan bangunan-bangunan bersejarah ini sebagai bagian dari identitas kota yang tak ternilai harganya.
BACA JUGA
Sunan Gunung Jati: Waliyullah Penyebar Islam dari Cirebon yang Mengubah Jawa Barat
Arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Sekelompok peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) menyimpulkan bahwa Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan simbol multifungsi kehidupan masyarakat Cirebon. Sebagai landmark religi di Cirebon, Masjid Agung Sang Cipta Rasa ternyata menyimpan peran yang jauh lebih kompleks daripada sekadar tempat ibadah.
Penelitian terbaru mengungkapkan bagaimana masjid bersejarah ini berfungsi sebagai pusat aktivitas multikultural yang mengakar kuat dalam tradisi lokal. Tidak hanya menjadi tempat shalat lima waktu, masjid yang menjadi saksi bisu perkembangan Islam di Jawa Barat ini juga berperan sebagai:
- Ruang interaksi sosial warga
- Wahana pelestarian budaya lokal
- Pusat kegiatan kemasyarakatan
Berdasarkan observasi lapangan, tercatat lebih dari 15 jenis kegiatan non-ritual yang rutin dilaksanakan di kompleks masjid, mulai dari pengajian anak-anak hingga festival budaya tahunan. Hal ini menunjukkan bagaimana bangunan religi klasik mampu beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat modern tanpa kehilangan nilai-nilai tradisinya.
Kajian arsitektural juga mengungkap bahwa desain ruang dalam masjid sengaja dibuat multifungsi, memungkinkan transformasi cepat dari area ibadah menjadi ruang pertemuan atau kegiatan budaya. Ini membuktikan kearifan lokal para pendiri masjid yang sudah memikirkan aspek fleksibilitas sejak abad ke-15.
Temuan ini sekaligus menantang paradigma konvensional yang selama ini memandang masjid kuno hanya sebagai bangunan sakral semata. Masjid Agung Sang Cipta Rasa justru menunjukkan bagaimana bangunan religi dapat menjadi simpul kehidupan masyarakat yang dinamis.
(Aak)