BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Dalam kehidupan masyarakat modern, tidak sedikit orang yang menganggap sesajen bertentangan dengan norma-norma agama tertentu. Namun sesajen sejatinya memiliki makna tersendiri di balik beragam sajian yang digunakan.
Namun, jika memahami arti dan makna yang terkandung di dalamnya, tidak akan lagi menganggap sesajen sebagai hal yang tabu. Sesajen merupakan warisan budaya dari leluhur yang harus dijaga kelestariannya.
Sesajen mengandung arti pemberian sesajian sebagai tanda penghormatan atau rasa syukur terhadap semua yang terjadi di masyarakat. Saat ini, banyak orang beranggapan bahwa menyajikan sesajen adalah bentuk kemusyrikan.
Padahal, sesajen memiliki simbol dan siloka yang perlu dipelajari. Siloka adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda (aphorisma).
Kearifan lokal yang disimbolkan dalam sesajen perlu dipelajari, bukan disalahkan, karena itu adalah kearifan budaya lokal yang diturunkan oleh leluhur. Sebagai generasi penerus, kita berkewajiban memahami dan melestarikannya.
Arti dan Makna Simbolik Sesajen Menurut Budaya Sunda
Kata “sajen” berasal dari “sesaji” yang mengandung makna “Sa-Aji-an”, yaitu kalimat yang disimbolkan dengan bahasa rupa, bukan bahasa sastra, yang di dalamnya mengandung mantra atau kekuatan metafisik atau supranatural.
Kata “Sajen” berasal dari kata “Sa” dan “ajian”:
- Sa bermakna Tunggal
- Aji bermakna Ajaran
- Sa bermakna Seuneu, bara atau Api (Aura-energi)
Bermakna “Sa Ajian”, yaitu ajaran yang Tunggal atau menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sesajen mengisyaratkan bahwa keganasan atau kedinamisan alam dapat diatasi atau ditangani dengan upaya menyatukan diri dengan alam, bukan dengan cara merusak atau menguasai alam.
Ritual ini merupakan bentuk metafora atau Siloka penyatuan manusia dengan alam. Kata “Sa-ajian” secara keseluruhan bermakna menyatukan keinginan (kahayang-kahyang) dengan keinginan alam (menyatu dengan alam).
Secara keseluruhan, kata “sajen” mempunyai makna energi ajaran Hyang Maha Tunggal (monotheisme). Makna Sesajen dalam konteks Sunda Purba bermakna negara.
Siloka dalam upacara sesajen adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda (aphorisma). Kearifan lokal (local genius) yang disimbolkan dalam sesajen yang diturunkan oleh leluhur.
Pada akhirnya, sesajen bermakna mengimplentasikan pemahaman ajaran ke-Tuhan-an dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Menjadi ajaran dan agama (keyakinan) secara turun-temurun, untuk kebaikan lahir dan batin di dunia dan sunyata. Dalam bahasa Sunda, “Rahayu lahir sinareng batin ayeuna jeung engke jagana”.
Makna dan Arti yang Terkandung Dalam Media Sesajen Menurut Ajaran Sunda
1. Parupuyan dan Menyan
Parupuyan adalah tempat arang/bara api yang terbuat dari tanah (tempat saripati atau badan sakujur). Merah melambangkan api, kuning melambangkan angin, putih melambangkan air, dan hitam melambangkan tanah.
Bermakna bahwa saripati dari air, angin, air, dan tanah adalah asal badan sakujur atau penopang hidup. Membakar kemenyan atau ngukus bermakna ngudag “Kusumaning Hyang Jati”. Bermakna mengkaji dan menghayati serta menelesuri hakekat dan nilai-nilai Ke-Tuhan-an.
Menyan bermakna Temen tur nyaan/nu enyana/sa enya-enyana atau sebenar-benarnya. Secara keseluruhan bermakna dalam mendalami, mengkaji, dan menghayati harus sungguh-sungguh dan sebenar-benarnya.
Wangi kemenyan bermakna SILIH WAWANGIAN atau berbuat Kebajikan. Kini dalam tradisi Sunda ada juga mengganti dengan hio/dupa karena lebih simpel.
2. Amparan atau Samak/Tikar
Bermakna kudu Saamparan Samaksud Satujuan, Sakabeh tujuan jeung maksud diamparan ku Ka Tuhanan, Ka Manusaan, Ka Bangsaan, Ka Rahayatan, Ka adilan atau sesungguhnya kita harus satu maksud, satu tujuan yang semuanya itu harus didasari oleh nilai-nilai Ke Tuhanan, Ke Manusiaan, Ke Bangsaan, Ke Rakyatan, Ke Adilan.
3. Alas Lawon Bodas (kain Putih Sebagai Alas)
Bermakna hendaknya dalam tindakan dan ucapan harus memiliki kebersihan hati, pikiran atau kebersihan lahir dan batin.
4. Kendi di Eusi Cai Make Hanjuang (Kendi berisi Air dan Daun Hanjuang)
Kendi bermakna taneuh atau tanah. Bermakna Air Hanjuang bermakna HaNa Ing Juang {Hana: Hirup/Aya (Hidup/Ada), Juang: Berjuang}.
Bermakna hirup kudu berjuang gawe pikeun lemah cai atau babakti ka nagari atau bebela ka Nagara atau hidup harus berjuang berbakti pada nusa dan bangsa.
5. Sang Saka Dwi Warna (Sasaka Pusaka Buhun Djawadwipa)
Bermakna Dwi Warna atau dua warna (Waruna), yaitu Beureum jeung Bodas, bermakna merah dan putih. Beureum bermakna Indung/Ibu Pertiwi dan bodas bermakna Bapa/Rama.
Sang Saka bermakna Soko. Bermakna bahwa suatu kewajiban kita menghargai orang tua yang telah melahirkan dan mengurus kita, juga tanah air yang telah memberi kehidupan. Bakti kepada orang tua, bangsa, dan negara menjadi keutamaan dalam kehidupan.
6. Rujak Tujuh Rupa
Rujak bermakna rasa, seperti manis, pahit, asam, keset, pedas, asin, dan sebagainya. Tujuh rupa bermakna 7 poe atau tujuh hari. Secara keseluruhan bermakna: “dina tujuh poe pangggih jeung rupa-rupa kahirupan.” Yang artinya: Dalam Tujuh Hari kita mengalami berbagai rasa kehidupan.
7. Kopi Pait, Kopi Amis Jeung Cai Asak Herang di Wadahan Kana Batok
Bermakna: “Sajeroning lampah hirup pinasti ngaliwatan papait jeung mamanis nu sakuduna digodog, diasakan dina babatok (pikiran, elingan) wening ati herang manah”.
Yang artinya: Dalam laku lampah kehidupan pasti melalui kepahitan dan manis yang semestinya diolah, dikaji dalam tempurung (pikiran, elingan) dalam Hati yang tenang dan bersih).
8. Sangu Tumpeng
Bermakna tumpuk-tumpuk ngajadi hiji sahingga mangpaat keur kahirupan urang, ulah rek pakia-kia pagirang-girang tampian kawas remeh sumawur teu paruguh.
Nasi tumpeng, atau banyak terkenal dengan istilah “tumpeng” saja, adalah sajian khas yang ada dalam acara perayaan atau “selamatan” baik di desa-desa maupun di kota-kota besar di pulau Jawadwipa, Bali, dan pulau-pulau lainnya di Indonesia sampai sekarang.
Tumpeng menjadi materi penting dalam acara pemujaan atau selamatan tradisi budaya Sunda. Walaupun sebagai Simbol penting sebuah acara pemujaan dan selamatan, namun sebenarnya tidak banyak orang mengetahui yang memahami maknanya.
Tumpeng sendiri sebenarnya menjadi simbol yang mengangkat hubungan antara manusia dengan Tuhannya, dengan Alam, dan dengan Sesama Manusia.
9. Bakakak hayam (bakak ayam)
Bermakna pasrah sumerah ka Gusti atau berpasrah pada ketentuan yang allah berikan(tumamprak lir bakakak) .
10. Puncak manik (congcot nu di luhurna aya endog hayam)
Bermakna: “Puncak tina kahirupan nyaeta silih ajenan ka sasama. Endog teh mamana cita-cita kahirupan nu bakal ngalahirkeun laku lampah hade”.
Yang artinya: Puncak dalam kehidupan yaitu saling menghargai terhadap sesama. Telur sebagai awal mula kehidupan yang bakal melahirkan prilaku baik.
11. Daun jati tilu lambar (Daun Jati Tiga Lembar)
Bermakna: “Manusa dina ngajalankeun hirup jeung ka hirupan kudu dumasar kana TEKAD, UCAP jeung LAMPAH nu SAJATINA”.
Artinya: Menjalani kehidupan harus memiliki Tekad, Ucapan, dan Tingkah Laku yang Baik.
BACA JUGA : Tradisi Sunda Wiwitan dan Akar Budaya di Tatar Pasundan
12. Lemareun/seupaheun (ngalemar/nyirih)
Bermakna: “Mun urang rek ngucap, lumaku jeung lumampah ulah rek gurung gusuh tapi kudu di beuweung di utahkeun, persis nu nyeupah”.
Artinya: Kalau kita berbicara, berprilaku, dan bertindak jangan terburu-buru, tapi harus di pikir dan mencernanya terlebih dahulu, persis ketika ngalemar/nyirih.
“Ieu kabeh teh simbul siloka keur ajieun urang supaya hirup teu kasasar lampah”.
Artinya: Ini semua adalah simbol siloka untuk kajian kita semua, supaya hidup tidak kesasar/celaka.
Intinya adalah di dalam sesajen terdapat nilai luhur kearifan lokal yang jadi pedoman pandangan hidup agar tidak salah dalam melangkah.
(Hafidah Rismayanti/Aak)