BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Nama Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali jadi sorotan publik gara-gara isu sensitif: vasektomi untuk penerima bansos. Ramai diperbincangkan di media dan media sosial, isu itu pun langsung dibantah oleh Kang Dedi.
“Sebenernya yang mengharuskan vasektomi tuh nggak ada, tapi media yang memframing seperti itu. Orang saya punya rekamannya,” ujarnya santai dalam sebuah podcast YouTube Deddy Corbuzier, Senin (4/8/2025).
“Itulah keuntungan jadi gubernur ngonten, semua pidato saya ada arsipnya.” ungkap Dedi.
Menurut Dedi, apa yang ramai di luar hanyalah hasil potongan pernyataannya yang sengaja dibelokkan. Ia menegaskan bahwa tidak pernah menyatakan vasektomi sebagai kewajiban, apalagi sebagai syarat menerima bansos.
“Saya tahu betul yang saya ucapkan. Saya cuma menawarkan solusi, bukan maksa,” tegasnya.
Dedi menjelaskan bahwa tidak ada kebijakan apa pun yang mengharuskan penerima bantuan sosial menjalani vasektomi. Program KB, termasuk vasektomi, hanya ia tawarkan secara sukarela kepada keluarga-keluarga yang terbukti kesulitan secara ekonomi karena memiliki anak dalam jumlah banyak.
Baca Juga:
KDM Gelar Lomba Kota Terbaik di Jawa Barat, Perebutkan Stimulus Rp15 Miliar
Lebih lanjut Ia menuturkan berbagai kisah nyata yang ia temui di lapangan. Di Purwakarta, ia bertemu dengan keluarga yang memiliki 24 anak. Sang ibu berjualan gorengan dan ayahnya menarik becak. Di tempat lain, ia mendapati keluarga dengan 16 anak, 14 anak, hingga kasus di Majalengka di mana pasangan suami istri memiliki 10 anak dan sedang menanti kelahiran anak ke-11, sementara anak-anak mereka harus berjualan di alun-alun karena tidak sekolah.
“Kalau memang tahu tidak mampu secara ekonomi, kenapa tetap punya anak terus-menerus?” tanya Dedi.
Menurutnya, anak bukan sekadar ‘rezeki’, tapi juga tanggung jawab, dan ketika tanggung jawab itu diabaikan, dampaknya akan menimpa anak-anak itu sendiri—tidak sekolah, tidak sehat, bahkan harus bekerja di jalanan.
Vasektomi pun, menurut Dedi, adalah salah satu bentuk intervensi yang lebih ringan, aman, dan bertanggung jawab, terutama bagi para ayah. Ia menyebut bahwa keputusan itu adalah bagian dari kesadaran sosial dan tanggung jawab jangka panjang, bukan soal merendahkan martabat laki-laki.
“Tapi lagi-lagi, saya tidak pernah memaksa. Kalau mereka menolak, saya tidak akan memaksa. Saya hanya menawarkan opsi. Itu saja,” ujarnya.
Lebih jauh, Kang Dedi mengajak publik untuk tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang dibentuk media tanpa memeriksa sumber aslinya. Menurutnya, masyarakat harus mulai belajar membedakan antara informasi dan manipulasi.
Penulis:
Daniel Oktorio Saragih
Ilmu Komunikasi
Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia (UNIBI)