BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — “Mengapa hal-hal yang tidak terpikirkan sepanjang hari justru menyerbu kepala saat malam tiba?”
Mengapa malam hari justru terasa paling ‘berisik’ bagi pikiran? Seolah-olah otak sengaja menayangkan ulang semua ketakutan, kegelisahan, dan ketidakpastian yang sempat kamu tunda di siang hari. Tak ada suara dari luar, tapi justru suara dari dalam terdengar paling nyaring.
Secara evolusioner, otak manusia memang dirancang untuk waspada terhadap ancaman dan memproses dinamika sosial. Namun ironisnya, saat tubuh mulai rileks menjelang tidur, otak justru mengaktifkan mode internal: mulai menimbang kesalahan, mengulas kekhawatiran, hingga mempertanyakan arah hidup.
Ini bukan kebetulan. Dalam dunia neuropsikologi, kondisi ini dikenal sebagai aktivasi Default Mode Network (DMN)—jaringan otak yang aktif saat kita tidak fokus pada tugas luar. DMN berfungsi layaknya layar bioskop mental, memutar ulang peristiwa masa lalu, skenario masa depan, dan dialog yang belum selesai. Semakin sunyi dunia luar, semakin lantang pikiran di dalam kepala.
Maka jangan heran jika kekosongan malam justru menjadi ruang paling riuh bagi jiwa yang belum selesai berdamai. Karena di saat itulah semua distraksi dunia luar berhenti. Tak ada obrolan, notifikasi, atau canda tawa bersama teman-teman yang biasanya jadi pelindung dari overthinking. Dan ketika semua itu berhenti, satu-satunya yang tersisa hanya kamu dan isi kepalamu.
Overthinking: Gejala Modern di Tengah Sunyi
Laporan nasional Health Collaborative Center (HCC) tahun 2025 menunjukkan bahwa 1 dari 2 orang Indonesia mengalami overthinking secara intens, terutama saat malam hari menjelang tidur. Survei terhadap lebih dari 1.000 responden di seluruh provinsi menunjukkan bahwa overthinking kini menjadi salah satu bentuk kecemasan paling umum, bahkan mengalahkan stres akibat pekerjaan dan akademik. Overthinking sudah jadi ‘penyakit umum’ dari tekanan kehidupan modern yang serba cepat. Fenomena ini paling kuat dialami oleh kelompok usia 18–29 tahun—fase kehidupan yang ditandai oleh pencarian identitas, pembentukan tujuan hidup, dan ketidakpastian masa depan. Semua tekanan itu berkumpul dan memuncak saat malam tiba.
Lalu, Haruskah Kita Takut Pada Pikiran Sendiri?
Overthinking bukan sekadar berpikir terlalu banyak. Ia merupakan bentuk kecemasan yang terus-menerus muncul, terpecah-pecah, dan tidak menghasilkan penyelesaian. Bahkan, sebuah studi dari University of Michigan menemukan bahwa 85% dari hal-hal yang kita cemaskan sebenarnya tidak pernah terjadi. Namun, otak kita tetap saja mengulangnya berulang kali.
Dalam psikologi kognitif, overthinking berkaitan erat dengan proses metakognisi—yakni kemampuan untuk berpikir tentang pikiran sendiri. Ketika individu terus-menerus mengevaluasi, mengkritik, atau meragukan pikirannya, ia cenderung terjebak dalam lingkaran rumit tanpa ujung. Ini membuat beban mental terasa jauh lebih berat, padahal yang terjadi hanya “pertarungan batin” dengan diri sendiri.
Ini menjelaskan mengapa overthinking begitu melelahkan: bukan karena masalahnya nyata, tetapi karena kita terlalu sering menghadapinya sendirian di dalam kepala.
Apa Solusinya? Bukan Menghindar, Tapi Mengelola dengan Lembut
Overthinking bukan untuk dilawan. Ia adalah sinyal bahwa ada hal dalam hidup yang belum selesai dihadapi. Maka, solusinya bukan menolak pikiran, melainkan mengelolanya secara sadar.
1. Menulis Pikiran Sebelum Tidur
Teknik: Tulis kekhawatiran atau isi kepala secara bebas di jurnal sebelum tidur.
Alasan: Penelitian dari Baylor University (2018) membuktikan bahwa menuliskan hal-hal yang membuat kita cemas dapat mempercepat waktu tidur dan mengurangi kecemasan.
2. Latihan Napas dan Kesadaran Diri (Mindfulness)
Teknik: Fokus pada napas masuk dan keluar selama lima menit sebelum tidur.
Alasan: Teknik ini menenangkan sistem saraf simpatik dan mengaktifkan sistem parasimpatik yang membuat tubuh rileks.
3. Kurangi Paparan Gawai Menjelang Tidur
Teknik: Hindari penggunaan ponsel minimal 30 menit sebelum tidur.
Alasan: Cahaya biru dari layar menghambat produksi melatonin, hormon yang mengatur siklus tidur, dan memicu aktivasi kognitif berlebih.
4. Berlatih Menerima Diri Tanpa Syarat
Teknik: Ucapkan kalimat afirmatif seperti “Aku sedang belajar” atau “Tidak apa-apa belum tahu semua jawabannya.”
Alasan: Menurut pendekatan psikologi humanistik (Rogers, 1961), penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) merupakan kunci pertumbuhan psikologis yang sehat dan penyembuhan diri.”
Penutup: Malam Hari Adalah Cermin Batin.
Malam hari tidak selalu menyakitkan. Ia justru menghadirkan kejujuran—karena di situlah kita paling dekat dengan isi hati sendiri. Overthinking tidak perlu ditakuti, tapi dipahami. Ia hanyalah tanda bahwa dirimu sedang mencoba tumbuh, meski belum sepenuhnya tahu ke mana arah langkah selanjutnya. Karena sering kali, yang kamu butuhkan bukanlah solusi instan, tapi ruang yang aman untuk berdamai dengan kekacauan dalam kepala.
Jika kamu adalah salah satu dari mereka yang merasa malam hari terlalu berisik, cobalah mengizinkan dirimu menulis satu kalimat jujur sebelum tidur. “Kepalamu cuma lagi rame. Mungkin yang dia butuhin cuma satu hal: kamu, yang mau dengerin dia dengan sabar. Kadang, satu pengakuan kecil bisa meredakan riuh paling gaduh dari dalam kepala.”
Penulis:
Miftah Indi Raihan Derby