BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Hasil Pilkada 2024 menunjukkan dua hasil yang kontras antara Ridwan Kamil dan Dedi Mulyadi. Ridwan Kamil, yang dikenal sebagai pemimpin inovatif dan progresif, gagal memenangkan Pilkada DKI Jakarta, sementara Dedi Mulyadi berhasil meraih kemenangan di Jawa Barat. Keduanya menghadapi dinamika politik yang kompleks, termasuk dukungan partai pengusung, strategi kampanye, serta pengaruh isu gender yang mencolok.
Ridwan Kamil, figur yang dikenal progresif dan inovatif, menghadapi tantangan berat dalam perjalanan politiknya. Pada survey Jawa Barat, ia menunjukkan elektabilitas yang signifikan, mencapai 36,6% dalam survei Litbang Kompas (Juni 2024), jauh mengungguli
rival politiknya, Dedi Mulyadi, yang hanya memperoleh 12,2%. Namun, langkah Partai Golkar untuk memindahkan Ridwan Kamil dari basis elektoral terkuatnya ke Pilkada DKI Jakarta meninggalkan pertanyaan besar tentang strategi partai, terutama di tengah kontestasi isu-isu personal yang turut mendominasi politik.
Ridwan Kamil, yang diusung oleh koalisi 12 partai besar termasuk Golkar, Gerindra, PKS, dan PAN, seharusnya memiliki modal politik yang kuat di DKI Jakarta. Namun, dukungan tersebut tampaknya lebih bersifat simbolis daripada strategis. Dalam teori hegemoni politik Antonio Gramsci, dukungan seperti ini sering kali hanya menjadi alat elite politik untuk mendorong agenda mereka tanpa memberikan dukungan nyata di lapangan. Kampanye Ridwan Kamil terlihat kurang terkoordinasi, terutama dalam menjangkau
basis akar rumput di wilayah Jakarta. Ini terlihat dari kekalahannya di enam wilayah administratif DKI Jakarta, di mana pasangan Pramono Anung-Rano Karno yang diusung PDI-P dan NasDem berhasil unggul dengan 50,07% suara.
Di sisi lain, Dedi Mulyadi, yang maju dengan dukungan penuh dari Partai Golkar, menunjukkan pengelolaan dukungan politik yang jauh lebih solid. Golkar memanfaatkan jaringan akar rumputnya di Jawa Barat untuk mendukung Dedi secara efektif, terutama di
wilayah pedesaan yang menjadi basis elektoral utamanya. Keputusan Golkar untuk mengusung Dedi di Jawa Barat juga terbukti strategis, karena partai tersebut berhasil mempertahankan dominasi politiknya di provinsi ini.
Selain dukungan partai, isu gender turut memainkan peran besar dalam menentukan hasil kedua kandidat. Ridwan Kamil terjebak dalam kontroversi pernyataan terkait janda yang ia lontarkan bersama pasangannya, Suswono. Dalam sebuah acara, Ridwan Kamil menyebutkan bahwa “janda akan disantuni, diberi sembako, dan jika cocok akan dinikahi,” menanggapi komentar pasangannya, Suswono, yang mengatakan “janda kaya raya harus menikahi pria miskin untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.” Pernyataan ini tentu saja menuai kritik keras karena dianggap merendahkan perempuan dan mencerminkan cara pandang patriarkal yang memperlakukan perempuan sebagai objek sehingga memengaruhi persepsi publik, terutama di kalangan perempuan dan pemilih muda perkotaan, yang seharusnya menjadi basis penting di Jakarta.
Sebaliknya, Dedi Mulyadi mampu mengelola isu gender dengan lebih baik meski menghadapi serangan terkait perceraiannya dengan Anne Ratna Mustika. Dalam
beberapa kesempatan, Dedi menepis isu ini dengan menampilkan dirinya sebagai ayah penyayang dan pemimpin yang tetap dekat dengan masyarakat. Dalam sebuah unggahan, Dedi menyatakan, “Bersama putri cantikku Hyang Sukma Ayu, hidup terasa ringan untuk tetap tegar bertahan,” menunjukkan komitmennya pada keluarga meski menghadapi persoalan pribadi. Narasi ini berhasil membangun empati publik dan memperkuat citranya sebagai pemimpin yang tangguh tetapi tetap humanis.
BACA JUGA: Ketika Politisi Senior Golkar Berebut Kursi Ketum PMI
Dalam teori gender, cara Dedi menangani isu personal ini menunjukkan keberhasilan membangun narasi gendered leadership framing, di mana ia tampil sebagai sosok yang mampu melampaui stereotip maskulinitas tradisional. Sebaliknya, Ridwan Kamil gagal membangun narasi serupa di Jakarta, yang memperlemah citranya sebagai tokoh progresif dan inklusif.
Keberhasilan Dedi Mulyadi di Jawa Barat dan kekalahan Ridwan Kamil di DKI Jakarta
mencerminkan bagaimana dukungan politik partai, sensitivitas terhadap isu gender, dan
pengelolaan isu personal dapat memengaruhi hasil akhir pemilihan. Ridwan Kamil,
meski memiliki rekam jejak yang baik, tidak berhasil memanfaatkan dukungan koalisi
besarnya secara efektif dan terjebak dalam kontroversi yang merusak citranya.
Sebaliknya, Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa kedekatan dengan masyarakat dan
pengelolaan isu personal yang baik dapat menjadi kunci keberhasilan dalam kontestasi
politik lokal.
Disclaimer
Opini ini sepenuhnya merupakan pandangan penulis dan tidak mencerminkan kebijakan redaksi.
Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi di Telkom University dan Mahasiswa Pascasarjana Pengkajian Seni dan budaya di Institut Seni Budaya Indonesia
(ISBI) Bandung.
(Firman Pribadi)