BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Asosiasi Pengusaha Indonesia Jawa Barat (APINDO Jabar), mendorong optimalisasi program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) BPJS Ketenagakerjaan yang dapat digunakan untuk program perumahan, sehingga pekerja swasta tidak perlu mengikuti program Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA).
APINDO Jabar juga menyoroti atas diberlakukannya PP No 21 Tahun 2024 yang dinilai memberatkan, baik dari sisi pelaku usaha maupun pekerja dengan adanya tambahan beban sebesar 2,5% bagi pekerja dan 0,5% bagi pemberi perja dari besaran upah pekerja.
Ketua APINDO Jabar, Ning Wahyu Astutik menyarankan, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali peraturan tersebut karena sebetulnya tidak diperlukan, mengingat fasilitas perumahan pekerja bisa dioptimalkan dari sumber pendanaan BPJS Ketenagakerjaan yang mana jumlahnya sangat besar namun sedikit pemanfaatannya.
“Berdasarkan PP No. 55 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa maksimal 30% dari dana Jaminan Hari Tua (JHT) dapat dimanfaatkan untuk program penyediaan perumahan,” kata Ning melalui keterangan tertulisnya, Selasa (4/6/2024).
Menurut Ning, dengan total dana JHT sebesar Rp460 triliun maka terdapat Rp138 triliun yang bisa dimanfaatkan untuk program perumahan pekerja melalui MLT yang merupakan fasilitas yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan kepada peserta program JHT dalam bentuk pinjaman.
“KPR maksimal Rp500 juta, Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMO) maksimal Rp150 juta, Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP) maksimal Rp200 juta, dan Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi (FPPP/KK),” jelas Ning.
BACA JUGA: Budi Santoso Bandingkan Kredit Tapera dan KPR Biasa, Bunga Lebih Rendah?
Ning menyatakan, aturan TAPERA semakin menambah beban, baik bagi Pengusaha maupun Pekerja.
“Saat ini, beban iuran yang telah ditanggung pengusaha sebesar 18,24% – 19,74% dari upah pekerja, berupa JHT 3,7% , jaminan kematian 0,3% , jaminan kecelakaan kerja 0,24-1,74%, jaminan pensiun 2%, jaminan sosial kesehatan 4%, cadangan pesangon sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 24 Tahun 2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar
8%,” kata Ning.
(Budis)