SAMARINDA, TM.ID : Kasus pernikahan dini di Kalimantan Timur (Kaltim) masih tinggi, yang melebihi rata-rata angka nasional yakni 12,4 persen per tahun.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur berkomitmen untuk menekan angka kasus pernikahan di remaja tersebut.
Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim, Noryani Sorayalita, Selasa (7/2) mengatakan pihaknya terus melakukan sosialisasi terkait pencegahan terjadinya pernikahan usia muda di masyarakat mengingat dampak pernikahan tersebut dapat menyebabkan permasalahan sosial yang sangat kompleks.
Noryani Sorayalita menjelaskan dampak negatif yang muncul akibat pernikahan dini di antaranya potensi perceraian, kematian ibu dan bayi, stunting dan dampak ekonomi karena belum matangnya kesiapan finansial untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga.
BACA JUGA: KemenPPPA: Soal Pernikahan Dini Perlu Ditangani Oleh Lintas Sektor
Menurut perempuan yang akrab disapa Soraya itu, penyebab utama terjadinya pernikahan usia anak dikarenakan masalah ekonomi, sosial, budaya dan pergaulan bebas.
“Harus ada partisipasi dari masyarakat, terutama orang tua untuk membimbing anaknya sendiri agar tidak terjerumus bahkan melakukan pernikahan usia anak secara terpaksa,” ujar Soraya di Samarinda.
Soraya cukup optimis dengan berbagai program yang dilakukan oleh instansinya, bakal memberikan dampak penurunan angka pernikahan usia remaja di Kaltim.
” Pada tahun 2021 angka pernikahan usia anak berhasil diturunkan. Dari angka 1.159 orang pada tahun 2020, menjadi 1.089 orang pada tahun 2021,” jelas dia.
Saat ini lanjut Soraya, pernikahan usia anak masih menjadi perhatian serius pemerintah karena tingginya angka pernikahan usia anak di Indonesia dengan rata-rata kasus 10,82 persen per tahun.
Apalagi, Pemerintah pusat melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menargetkan angka pernikahan usia anak dapat ditekan hingga 8,74 persen pada 2024.
Di Kalimantan Timur (Kaltim) angka pernikahan usia anak masih di atas rata-rata nasional. Yakni sebesar 12,4 persen. Namun persentase itu, masih di bawah provinsi lain di Provinsi di Pulau Kalimantan.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa, “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun”.
Meski demikian, pengajuan permohonan dispensasi pernikahan tetap diperbolehkan dengan pertimbangan tertentu. Hal inilah yang masih menjadi celah terjadinya pernikahan dini.
Sepanjang 2022, tercatat sebanyak 95 permohonan dispensasi pernikahan di Kabupaten Paser. Angka itu menjadi yang tertinggi di Provinsi Kaltim.
Kepala Bidang (Kabid) Pengarusutamaan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Paser, Kasrani Lathief, mengatakan pengajuan dispensasi pernikahan mayoritas disebabkan oleh kasus hamil diluar nikah.
Kasus yang sama juga terjadi di Kabupaten Berau. Pengadilan Agama (PA) Tanjung Redeb mencatat, setidaknya selama 2022 ada sebanyak 47 permohonan dispensasi nikah.
Meski begitu, hanya 41 permohonan yang disetujui. Sementara 6 (enam) lainnya tidak diterima.
Di Kota Bontang, pengajuan dispensasi pernikahan didominasi oleh remaja usia 15-19 tahun. Pengadilan Agama Kelas II Bontang mencatat, setidaknya terdapat 31 anak yang mengajukan dispensasi pernikahan dini sepanjang tahun 2022.
(Budis)