BANDUNG, TM.ID: Bahan pewarna dari serangga karmin sedang dipertanyakan publik, karena menyangkut kehahalannya.
Minuman hingga kosmetik memanfaatkan serangga cochineal yang banyak hidup di Amerika Selatan dan Meksiko.
Sekedar informasi, serangga cochineal yang dikeringkan dan digiling itu mampu menghasilkan 17 hingga 24 persen ekstrak Asam Carminic yang bisa diolah sebagai pewarna untuk dikonsumsi.
BACA JUGA: Mengenal Pewarna Makanan Karmin yang Diklaim Halal MUI
Hukum Islam Tentang Memakan Serangga
Lantas, bagaimanakah pandangan dari hukum islam mengkonsumsi bahan makanan yang berunsur kandungan serangga seperti karmin?
Melansir berbagai sumber, dalam dunia kuliner dan industri makanan, terdapat perdebatan yang berkepanjangan tentang penggunaan serangga sebagai bahan pangan. Persoalan ini juga menjadi topik perdebatan di kalangan ulama Islam.
Salah satu madzhab yang dengan tegas mengharamkan konsumsi serangga adalah Madzhab Syafi’i, namun perspektif ini tidaklah mutlak. Dalam artikel ini, kami akan membahas pandangan berbagai madzhab dan ulama terkait dengan konsumsi serangga dalam Islam.
1. Pendapat Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’i, salah satu dari empat madzhab besar dalam Islam, memiliki pandangan tegas mengenai konsumsi serangga. Menurut madzhab ini, penggunaan serangga untuk dikonsumsi hukumnya haram.
Dalam pandangan Syafi’i, jika zat pewarna diambil dari serangga yang diharamkan, maka produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika yang mengandung zat pewarna tersebut juga diharamkan.
Pandangan ini didasarkan pada ketakjuban bahwa serangga termasuk dalam kategori hewan yang menjijikan atau khabaits, sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW yang mengharamkan konsumsi makanan yang dianggap menjijikan.
2. Pendapat Lainnya
Namun, tidak semua madzhab sepakat dengan pandangan Madzhab Syafi’i. Terdapat madzhab lain yang memiliki pandangan berbeda, karena landasan dan tinjauannya masing-masing. Dalam kitab-kitab fikih, serangga sering disebut sebagai “Hasyarat.”
Diperhatikan bahwa serangga dibagi menjadi dua jenis, yaitu yang darahnya mengalir (Laha damun sailun) dan yang darahnya tidak mengalir (Laisa laha damun sailun).
Menurut para Fuqoha, yaitu para ahli fikih yang berpendapat bahwa serangga yang darahnya mengalir, maka bangkainya adalah najis. Sementara yang darahnya tidak mengalir, bangkainya dianggap suci. Pendapat ini berbeda dengan Madzhab Syafi’i dan Abu Hanifah yang mengharamkan konsumsi serangga berdasarkan kategori menjijikan.
3. Perspektif yang Mengizinkan
Di sisi lain, terdapat ulama seperti Imam Malik, Ibn Abi Layla, dan Auza’i yang berpendapat bahwa serangga dapat dianggap halal selama tidak membahayakan. Cochineal, jenis serangga yang digunakan sebagai sumber zat pewarna makanan, termasuk dalam kategori serangga yang tidak membahayakan. Oleh karena itu, hewan ini dianggap mengandung bahan yang baik dan bisa dimanfaatkan.
4. Analogi dengan Belalang
Selain pendapat di atas, beberapa ulama memandang serangga seperti belalang, Para Fuqoha telah sepakat bahwa belalang hukumnya halal berdasarkan ketetapan dari Hadits Nabi SAW. Bahkan, bangkainya pun diperbolehkan untuk dimakan.
Dalam pandangan Islam, konsumsi serangga masih menjadi topik perdebatan seperti saat ini karmin. Meskipun Madzhab Syafi’i dengan tegas mengharamkannya, terdapat pandangan lain yang mengizinkan konsumsi serangga asalkan tidak membahayakan.
Penting untuk diingat bahwa dalam Islam, pandangan beragam dihormati, dan setiap individu atau komunitas dapat mengikuti pandangan yang mereka yakini sesuai dengan keyakinan mereka.
Dengan demikian, konsumsi serangga dalam perspektif hukum Islam tetap merupakan masalah kontroversial, dan pemahaman individu terhadap masalah ini akan memengaruhi keputusan mereka dalam hal ini.
Pemahaman yang mendalam tentang berbagai pandangan ulama dapat membantu individu membuat keputusan yang sesuai dengan keyakinan agama mereka.
(Saepul/Usamah)