BABDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Kampung Adat Cireundeu merupakan bukti nyata pelestarian budaya Sunda Wiwitan atau Sunda asli, wilayah ini terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Jawa Barat.
Dengan luas sekitar 42 hektare, kampung ini terdiri dari 60 hektare lahan pertanian dan empat hektare pemukiman.
Kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianut oleh masyarakat setempat mengajarkan pentingnya melestarikan budaya dan adat istiadat, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung.
Nama Cireundeu sendiri berasal dari pohon reundeu, yang dahulu banyak tumbuh di wilayah ini. Pohon reundeu terkenal sebagai pohon obat herbal, mengutip pada cimahikota Senin (12/8/2024).
Masyarakat Kampung Adat Cireundeu memegang teguh prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman”. Prinsip ini menekankan pentingnya menjaga tradisi dan adat istiadat, namun tetap terbuka terhadap perubahan zaman.
Mereka tidak menolak teknologi modern seperti televisi, handphone, dan penerangan, tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai luhur yang ada secara turun temurun.
Salah satu bukti nyata pelestarian budaya adalah konsep kampung adat yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Leuweung Larangan (Hutan Terlarang)
Hutan ini dilindungi dan tidak boleh ditebang pohonnya. Tujuannya adalah untuk menjaga kelestarian alam dan sumber air bagi masyarakat.
2. Leuweung Tutupan (Hutan Reboisasi)
Hutan ini untuk reboisasi dan masyarakat boleh mengambil kayu, tetapi wajib menanam kembali pohon baru dengan jumlah yang lebih banyak.
3. Leuweung Baladahan (Hutan Pertanian)
Hutan ini untuk berkebun oleh masyarakat Cireundeu. Tanaman yang umumnya ditanam adalah jagung, kacang tanah, singkong, ketela, dan umbi-umbian.
Salah satu tradisi unik di Kampung Adat Cireundeu adalah puasa tanpa mengkonsumsi beras dalam waktu tertentu.
Tradisi ini berkaitan dengan ungkapan leluhur “Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat”.
Artinya, meskipun tidak memiliki sawah, masyarakat Cireundeu tetap bisa mendapatkan makanan pokok melalui tanaman lain seperti singkong.
Puasa ini bertujuan untuk mencapai kemerdekaan lahir dan batin, menguji keimanan, dan mengingatkan akan kekuatan Tuhan. Sebagai pengganti nasi, masyarakat Cireundeu mengkonsumsi rasi atau beras singkong.
Kebiasaan ini telah berlangsung selama kurang lebih 106 tahun, sejak tahun 1918 ketika sawah di wilayah tersebut mengering. Para leluhur kemudian menyarankan untuk menanam ketela, dan sejak saat itu masyarakat Cireundeu menjadikan singkong sebagai makanan pokok.
Singkong biasanya menjadi berbagai camilan seperti opak, simping, dan cireng. Konsistensi masyarakat adat dalam mengkonsumsi rasi sebagai makanan pokok menunjukkan komitmen mereka dalam melestarikan pesan sesepuh.
Masyarakat Cireundeu terkenal terbuka dengan masyarakat luar, namun tetap menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan gotong royong.
Mereka senang membantu satu sama lain dalam berbagai hal. Pola pemukiman di Kampung Adat Cireundeu menghadap ke timur untuk mendapatkan sinar matahari.
BACA JUGA : Mengenal Tradisi Upacara Ngaruwat Bumi Warga Jawa Barat
Kampung Adat Cireundeu dapat diakses dari Kota Bandung dengan jarak tempuh sekitar 15 kilometer dan waktu tempuh sekitar satu jam.
Rute yang dapat dilalui adalah Jalan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja, Jalan Dr Djunjunan, Tol Pasteur, Gerbang Tol Parteur I, Jalan Raya Leuwigajah, Jalan Kerkof, Jalan Saptadaya, dan akhirnya Kampung Adat Cireundeu.
Kampung Adat Cireundeu Sunda Wiwitan merupakan contoh nyata bagaimana budaya dan kearifan lokal menjadi daya tarik wisata. Keunikan budaya, tradisi, dan alamnya menjadi magnet bagi para wisatawan, peneliti, dan pengunjung lainnya.
(Hafidah Rismyanti/Aak)