BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Di era digital yang semakin maju, peran kreator konten dan media sosial dalam menyebarkan informasi sangat dominan.
Masyarakat kini dimanjakan oleh berbagai pemberitaan yang muncul dari berbagai platform digital, yang memperkaya akses dan kebutuhan informasi mereka.
Namun, tidak semua informasi yang beredar melalui media tersebut memiliki akurasi atau dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Oleh karena itu, verifikasi dan validasi informasi tetap menjadi hal yang mutlak dan seharusnya dilakukan oleh lembaga atau media yang diatur oleh hukum.
Ketimpangan Aturan antara Pers dan Kreator Konten
Ketimpangan aturan antara pers dan kreator konten kian mencolok. Pers dituntut untuk mematuhi kode etik jurnalistik, menerapkan prinsip 5W+1H, dan melalui proses verifikasi ketat sebelum menyebarluaskan informasi.
Sementara itu, kreator konten di media sosial bebas memproduksi dan membagikan konten tanpa regulasi yang jelas. Hal ini menyebabkan maraknya informasi yang belum terverifikasi, bahkan hoaks, yang berpotensi membahayakan masyarakat.
Anggota Komisi I DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, mengingatkan masyarakat agar memahami kondisi ini dengan baik.
“Tidak semua berita dari media baru atau media sosial itu benar. Jika masyarakat sudah mampu melakukan proses verifikasi tersebut, tentunya yang akan dikonsumsi merupakan berita yang baik dan benar,” ujar Cucun, dikutip dari laman Komisi Penyiaran Indonesia (14/5/2025).
Penekanan akan pentingnya proses verifikasi ini sangat beralasan. Salah satu kekhawatiran terbesar Cucun adalah meluasnya informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang membawa pesan-pesan disintegratif atau memecah belah.
Dampak Negatif Informasi Tidak Terverifikasi
1. Penyebaran Hoaks
Media yang tidak terverifikasi sering kali menjadi sumber berbagai informasi tidak akurat. Hoaks adalah contoh paling ekstrem, yakni berita palsu yang sengaja dibuat untuk menipu atau menyesatkan publik.
Disinformasi menyusul sebagai informasi keliru yang disebarluaskan secara sengaja untuk tujuan tertentu, seperti propaganda atau manipulasi opini.
Sedangkan misinformasi adalah informasi yang salah, tetapi disebarkan tanpa niat jahat, biasanya karena ketidaktahuan. Ketiga jenis informasi ini dapat menciptakan kebingungan dan kesalahan persepsi dalam masyarakat.
2. Memengaruhi Opini Publik
Informasi tidak terverifikasi berpotensi membentuk opini publik yang keliru. Ini dapat memicu polarisasi sosial dan politik, menumbuhkan kebencian antarkelompok, serta menimbulkan kepanikan massal tanpa dasar yang kuat.
Ketika informasi palsu lebih mudah dipercaya karena viralitasnya, maka masyarakat akan cenderung membuat keputusan yang salah berdasarkan informasi tersebut.
3. Merusak Reputasi Individu
Salah satu dampak paling merugikan dari penyebaran informasi palsu adalah kerusakan reputasi, baik terhadap individu maupun lembaga.
Tanpa bukti yang sah, seseorang atau institusi bisa menjadi korban fitnah atau pencemaran nama baik.
Akibatnya bisa berupa tekanan psikologis yang berat, serta kerugian secara ekonomi atau hukum, terutama jika berita palsu tersebut tersebar luas dan dipercaya banyak orang.
Baca Juga:
Hari Pers Nasional, Pj Wali Kota Bandung: Media Adalah Pelita Menuju Indonesia Emas
Dewan Pers: Pemda Boleh Lakukan Diskresi Apabila Media Terverifikasi Terlalu Banyak
4. Mempersulit Penegakan Hukum
Ketika masyarakat sudah terpengaruh oleh informasi keliru, klarifikasi atau pernyataan resmi dari aparat hukum atau pemerintah sering kali dianggap tidak valid.
Kondisi ini sangat mengganggu proses hukum karena publik lebih mempercayai narasi yang berkembang di media sosial daripada fakta yang disampaikan secara resmi.
5. Meningkatkan Risiko Keamanan Publik
Salah satu ancaman paling nyata dari informasi yang tidak terverifikasi adalah membahayakan keselamatan publik.
Dalam skala besar, hal ini bisa menghambat program kesehatan masyarakat dan meningkatkan angka kematian yang seharusnya bisa dicegah.
(Kaje)