BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Menjadi seorang ulama besar tidak lantas membuat seseorang terbebas dari kritik, persekusi, atau bahkan fitnah. Ujian seperti ini juga dialami oleh Imam Al-Ghazali, seorang filsuf dan teolog muslim terkemuka asal Persia yang dikenal dengan nama Algazel di dunia Barat abad pertengahan.
Gus Muhammad Ma’mun, tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), melalui laman Ponpes Sunan Drajat Lamongan, mengulas berbagai tuduhan miring yang pernah dialamatkan kepada Imam Al-Ghazali.
Kisah ini menjadi bukti bahwa perjalanan hidup seorang ulama tidak selalu mulus, meskipun kontribusinya terhadap keilmuan Islam tak terbantahkan.
Awal Mula Kontroversi
Pada tahun 1106, Imam Al-Ghazali diangkat sebagai mahaguru di Madrasah Nizhamiyyah, Nishapur, oleh wazir Negara Saljuq, Fakhr al-Mulk.
Pengangkatan ini terjadi setelah Al-Ghazali menghabiskan 12 tahun menempuh jalan Sufi dan menyelesaikan karya monumentalnya, Ihya’ ‘Ulum ad-Din.
Namun, pengangkatannya justru memicu perlawanan sengit dari para ulama di Nishapur. Al-Ghazali dituduh menyimpang dari ajaran Al-Asy’ari, bersimpati kepada Mu’tazilah, dan bahkan dituduh menyelipkan ajaran filsuf Yunani kuno dalam kitab-kitab tasawufnya.
Tuduhan ini berujung pada pelarangan pembacaan karya-karya Al-Ghazali dan bahkan memicu aksi demonstrasi menentang pengangkatannya.
Upaya Diskreditasi dan Pembelaan Diri
Para ulama konservatif di Nishapur tidak berhenti di situ. Mereka mencari celah untuk mendiskreditkan Al-Ghazali dengan menelusuri karya-karya masa mudanya.
Salah satu yang menjadi sasaran adalah buku *Al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul*, catatan kuliah Al-Ghazali saat masih berguru kepada Imam al-Haramain al-Juwaini. Buku ini dituduh mengandung pernyataan yang dianggap menghina Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi.
Tuduhan ini akhirnya dibawa ke hadapan Sanjar, raja Saljuq Timur yang bermazhab Hanafi. Al-Ghazali dipanggil untuk memberikan klarifikasi.
Beruntung, pertemuan ini berakhir baik. Sanjar meminta maaf, dan sebagai balasannya, Al-Ghazali menulis kitab *Nashihat al-Muluk* sebagai hadiah untuk sang sultan.
BACA JUGA
Imam Al-Ghazali dan 6 Pertanyaan Penuh Hikmah untuk Murid-muridnya
Cerita 1001 Malam: Kisah Abu Nawas Pukuli Penjaga Gegara Hadiah Raja
Rekam Jejak dalam Karya-Karyanya
Masa-masa penuh cobaan dalam hidup Al-Ghazali terekam dalam beberapa risalah pendeknya, seperti *Al-Munqidz min adh-Dhalal*, *Al-Imla’ fi Isykalat al-Ihya’*, dan *Faishal al-Tafriqah baina-l-Islam wa-z-Zandaqah*.
Dalam mukadimah *Faishal al-Tafriqah*, yang diterjemahkan oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid) menjadi “Penjelasan yang Menentukan”, Al-Ghazali membela diri dengan penuh semangat.
Dengan tegas, Al-Ghazali menulis bahwa mereka yang menganggap perbedaan pemikiran “sejengkal saja” dari Al-Asy’ari sebagai kekafiran adalah orang-orang yang “mentah, bodoh, dan masih terbelenggu oleh taklid.”
Ia juga menegaskan bahwa hakikat kekafiran adalah rahasia ilahi yang tidak mungkin dipahami oleh mereka yang terobsesi dengan jabatan, harta, dan prestise.
Pesan Abadi dari Seorang Ulama
Kisah hidup Imam Al-Ghazali ini mengajarkan bahwa perjalanan seorang ulama tidak pernah lepas dari ujian dan tantangan. Namun, keteguhan hati dan komitmen terhadap kebenaran akan selalu menjadi benteng yang kokoh menghadapi segala bentuk fitnah dan diskreditasi.
(Aak)