CIREBON, TEROPONGMEDIA.ID — Gunung Kuda yang membentang di perbatasan Cirebon dan Majalengka, Jawa Barat, bukan sekadar gundukan tanah dan bebatuan, asa kisah legenda yang sarat akan pesan moral di dalamnya.
Ia menyimpan cerita-cerita yang mengendap dalam lapisan waktu mulai dari mitos, sejarah, hingga duka.
Menurut tutur masyarakat setempat, nama gunung ini berasal dari kisah seorang raja yang mengutuk kuda kesayangannya hingga menjelma menjadi bukit.
Legenda Gunung Kuda terus hidup dalam ingatan kolektif warga, diwariskan dari generasi ke generasi dalam bingkai folklor.
Folklor merupakan warisan budaya masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui tutur lisan, gerak tubuh, atau alat bantu pengingat.
Sebagai ekspresi budaya tradisional, folklor mencakup beragam bentuk seperti dongeng rakyat, mitos, nyanyian tradisional, sejarah verbal, ungkapan bijak, dan adat istiadat yang mengakar dalam suatu komunitas.
Keberadaannya berfungsi sebagai sarana transmisi nilai-nilai budaya, pembentuk kesadaran sosial, sekaligus media hiburan bagi masyarakat pendukungnya.
Namun Gunung Kuda bukan cuma soal dongeng. Secara geologis, ia merupakan bagian dari kompleks Gunung Ciremai yang telah aktif sejak zaman purba.
Mengutip berbagai sumber, catatan sejarah menuliskan letusan dahsyat pada 1552 yang meninggalkan kaldera besar bekas luka yang masih terlihat hingga kini.
Lerengnya juga menyimpan jejak peradaban masa lalu. Di sana pernah berdiri Candi Ceto, peninggalan Hindu dari abad ke-15, menjadi bukti bahwa tempat ini dulunya adalah pusat spiritual.
BACA JUGA
Longsor Gunung Kuda Cirebon, ESDM Jabar Sebut Sudah Peringatkan Berkali-kali
Polisi Periksa Pemilik Tambang Galian C Gunung Kuda Cirebon Pasca Kejadian Longsor
Eksploitasi Tambang yang Tak Terkendali
Namun, gemuruh alat berat kini menggantikan bisik sejarah. Gunung Kuda dieksploitasi untuk batu andesit, granit, dan marmer.
Penambangan tak terkendali menggerus tubuh gunung, mengabaikan bahaya yang mengintai.
Hingga pada 30 Mei 2025, tanah itu pun menggeliat. Longsor besar terjadi, menelan korban—14 tewas, 8 hilang tertimbun. Bukan kali pertama bencana seperti ini terjadi, tapi seharusnya bisa jadi yang terakhir.
Gunung yang dulu dihormati karena kisahnya, kini dikenang karena nestapa. Sebuah peringatan: alam tak akan diam ketika terus dilukai.
(Aak)