BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — PT Gunung Mas Group (GMG) menilai penetapan tarif impor sebesar 19 persen oleh Pemerintah Amerika Serikat terhadap Indonesia tidak akan memberikan dampak langsung terhadap industri pertambangan nasional.
Hal ini disampaikan oleh Manajer Business Development & Corporate Planning GMG Group, Riza Kadir Syafaat, menyusul berlakunya tarif resiprokal yang ditetapkan Amerika Serikat terhadap Indonesia per 7 Agustus 2025.
“Kebijakan tarif 19% yang ditetapkan Amerika Serikat terhadap Indonesia tidak berdampak secara langsung terhadap industri tambang,” ujar Riza kepada Teropongmedia, Selasa (12/8/2025).
Menurut Riza, minimnya dampak langsung ini disebabkan oleh kecilnya porsi ekspor komoditas tambang Indonesia ke pasar Amerika. Produk seperti tembaga, batu bara, dan nikel selama ini lebih banyak diekspor ke negara-negara Asia, terutama Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok.
Dengan demikian, meskipun kebijakan tarif tersebut memiliki potensi mempengaruhi sejumlah sektor industri dalam negeri, namun sektor pertambangan dinilai masih cukup aman.
“Dampak terhadap industri tambang secara keseluruhan belum bisa dipastikan dalam waktu dekat,” ujar Riza.
Meskipun begitu, GMG tetap mengantisipasi adanya potensi dampak tidak langsung kebijakan tarif dagang Trump. Riza menjelaskan, kebijakan tarif AS dapat memicu pelemahan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama Indonesia.
Pelemahan ekonomi ini memicu kekhawatiran akan terdampaknya industri pada negara-negara tersebut yang akan mempengaruhi permintaan terhadap komoditas tambang.
Baca Juga:
GMG Wujudkan Pembangunan K3 dalam Ciptakan Kondisi Kerja di Lingkungan Pertambangan
Lebih lanjut, Riza mengungkapkan bahwa menurunnya permintaan global terhadap komoditas tambang akan mempengaruhi harga komoditas di pasar global.
“Pelemahan industri akibat ketegangan dagang global dapat menurunkan permintaan terhadap komoditas, yang pada akhirnya menekan harga di pasar global,” ujarnya.
Tertekannya harga komoditas global tentu menjadi ancaman serius bagi kinerja ekspor yang nantinya mempengaruhi stabilitas sektor tambang nasional. Selain itu, situasi ini juga memperburuk ketidakpastian iklim perdagangan global yang sudah rentan akibat tensi geopolitik.
Kendati demikian, GMG Group melihat dinamika tarif ini tidak hanya sebagai tantangan, tetapi juga peluang untuk mendorong industri pertambangan Indonesia menjadi lebih mandiri dan tahan terhadap guncangan ekonomi global.
“Dinamika ini bukan sekadar tantangan, tapi juga peluang untuk membentuk industri tambang nasional yang lebih resilien,” kata Riza.
Ia juga menyebut bahwa penurunan tarif dari sebelumnya 32 persen menjadi 19 persen merupakan perkembangan positif dalam hubungan dagang Indonesia-AS. Menurutnya, hal tersebut membuka ruang baru untuk menjajaki peluang pasar.
GMG menyatakan akan terus mengamati dan berdaptasi terhadap dinamika global secara cermat, guna memastikan kesiapan sektor pertambangan Indonesia menghadapi segala potensi risiko dan peluang di tengah dinamika perdagangan internasional.
(Raidi/Budis)