BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — “Bella Ciao” bukan sekadar lagu lama yang dinyanyikan ulang. lagu ini merupakan simbol perjuangan, suara perlawanan, dan identitas yang terus berubah seiring zaman berganti. Dari sawah di Italia utara hingga layar kaca serial Money Heist, lagu ini bertransformasi tanpa kehilangan makna dasarnya yakni melawan penindasan.
Pertama kali muncul pada akhir abad ke-19, lagu ini dinyanyikan oleh para mondine sebutan bagi buruh perempuan pemetik padi di wilayah Lembah Po, Italia. Dalam bentuk awalnya, “Bella Ciao” merupakan ekspresi protes terhadap kondisi kerja yang eksploitatif dan patriarkis. Liriknya mencerminkan keluhan akan ketidakadilan sosial, sekaligus menjadi ruang perlawanan bagi suara-suara perempuan kelas pekerja.
Namun, makna lagu berubah drastis pada masa Perang Dunia II. Dalam konteks perlawanan terhadap fasisme Benito Mussolini, lagu ini diadopsi oleh para partisan Italia. Liriknya pun diubah bukan lagi soal kerja di sawah, tetapi tentang kemerdekaan atau mati.
Lirik sederhana dan melodi yang mudah diingat menjadikan lagu ini cepat menyebar dan diterima secara luas.
“Una mattina, mi son alzato, o bella ciao, bella ciao, bella ciao, ciao, ciao…”
Setelah era perang, “Bella Ciao” tetap hidup sebagai lagu perlawanan di berbagai penjuru dunia. Lagu ini kerap bergema dalam demonstrasi politik di Eropa, Amerika Latin, hingga Asia. Ia menjadi bagian dari ritual gerakan sosial yang memperjuangkan keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Fenomena global lagu ini mencapai puncak baru saat lagu ini digunakan dalam serial Spanyol La Casa de Papel (Money Heist) yang tayang di Netflix pada 2017. Dalam serial tersebut, lagu ini dinyanyikan oleh tokoh-tokoh perampok bertopeng Salvador Dali yang melawan sistem finansial yang dianggap korup.
Baca Juga:
17 Tahun Berlalu, The Dark Night Masih Jadi Teror Standar Superhero MCU
Namun, konteks ini memunculkan perdebatan. Sebagian pihak menganggap penggunaan lagu gerilya oleh karakter kriminal sebagai bentuk komersialisasi dan pelecehan terhadap makna historis. Sebagian lain menilai bahwa kekuatan “Bella Ciao” justru terletak pada fleksibilitas maknanya yang bisa menjadi alat ekspresi kolektif dalam konteks apa pun.
Tak hanya di layar kaca, lagu ini juga kembali bergema di jalanan. Dalam beberapa tahun terakhir, lagu ini dinyanyikan dalam unjuk rasa di Chile, Lebanon, Myanmar, hingga demonstrasi pro-Palestina dan pro-iklim di Eropa.
Yayasan Internasional War Resisters menilai, “Bella Ciao” adalah lagu revolusioner yang mampu menyeberangi batas negara, bahasa, dan ideologi. Ia menjadi anthem universal bagi siapa pun yang merasa tertindas.
Kini di era dominasi algoritma, ketimpangan sosial, dan krisis global yang kompleks, “Bella Ciao” tetap bertahan sebagai lagu perlawanan. Ia hadir di TikTok, YouTube, hingga panggung demonstrasi. Dari musik rakyat menjadi simbol budaya pop, lagu ini membuktikan bahwa seni masih mampu menjadi alat perjuangan yang relevan.
*Opini ini sepenuhnya merupakan pandangan penulis dan tidak mencerminkan kebijakan redaksi Teropong Media.
(Dist)