BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Serial Bidaah belakangan ini memantik perdebatan luas khusunya di Indonesia. Bukan hanya karena keberanian alur ceritanya yang mengangkat figur pemuka agama sebagai tokoh antagonis, tapi juga karena kritik tajam tentang bagaimana agama dimanipulasi untuk melanggengkan kekuasaan individu maupun kelompok.
Lewat narasi yang menggambarkan keimanan sebagai alat kontrol, Bidaah berhasil membuka ruang refleksi tentang sejauh mana religiusitas berfungsi sebagai jalan spiritual, dan kapan ia berubah menjadi alat dominasi.
Religiusitas dalam Bingkai Kekuasaan
Dalam perspektif filsafat, kritik terhadap institusi agama bukanlah hal baru. Filsuf Prancis, Michel Foucault yang dikenal dengan konsep power/knowledge, menyebut bahwa kekuasaan tidak hanya hadir dalam bentuk represi fisik, tetapi juga dalam produksi pengetahuan termasuk pengetahuan keagamaan. Ketika suatu otoritas tunggal mengklaim hak mutlak untuk menafsirkan ajaran agama, ia juga mengendalikan perilaku, nilai, bahkan identitas kolektif masyarakat.
Dalam Bidaah, sosok ustaz yang awalnya tampak saleh dan penuh kasih lambat laun terkuak sebagai figur manipulatif yang menggunakan ayat-ayat untuk menanamkan rasa takut, membungkam kritik, dan membentuk pola pikir massal yang tunduk. Dalam kacamata Foucault, hal ini adalah contoh nyata dari bagaimana kekuasaan bekerja secara halus namun sangat efektif menciptakan disiplin melalui simbol dan doktrin, bukan senjata atau paksaan.
Filsuf Muslim abad ke-10, Abu Nasr Al-Farabi, dalam karyanya Al-Madina al-Fadilah (Negara Utama), menyampaikan bahwa pemimpin ideal bukan hanya cerdas dan bijaksana, tetapi juga memiliki hikmah (wisdom) dan kebenaran moral. Dalam kerangka ini, seorang pemimpin agama yang menyalahgunakan simbol-simbol keagamaan demi kekuasaan, sejatinya telah kehilangan legitimasi etikanya.
Al-Farabi menempatkan agama sebagai sarana untuk menyampaikan kebenaran filosofis kepada masyarakat luas dalam bahasa simbolik. Namun, Ketika simbol itu digunakan untuk memperalat massa demi agenda pribadi atau kelompok, maka agama telah direduksi menjadi instrumen manipulasi.
Pandangan ini bersambung dengan pemikiran Al-Ghazali yang menekankan pentingnya keikhlasan (ikhlas) dalam relasi antara manusia dan Tuhan. Al-Ghazali memperingatkan bahwa agama bisa berubah menjadi “perdagangan” ketika dijalankan bukan karena cinta kepada Allah, tetapi demi pujian dan kepuasan duniawi. Ini sangat relevan dengan potret tokoh religius dalam Bidaah, yang menjadikan agama sebagai panggung, bukan perjalanan spiritual.
Dari Spiritualitas ke Simbol Sosial
Jika dilihat dari pendekatan sosiologi agama, fenomena dalam Bidaah menunjukkan gejala pergeseran religiusitas dari spiritualitas ke simbolisme sosial. Peter L. Berger dalam The Sacred Canopy menjelaskan bahwa manusia secara kolektif menciptakan dan mempertahankan realitas sosial melalui institusi, termasuk institusi agama. Namun, ketika lembaga-lembaga itu mulai mengedepankan kekuasaan dan kepentingan duniawi, maka yang terjadi bukan lagi pembimbingan moral, melainkan penjinakan kesadaran.
Dalam serial ini, banyak tokoh masyarakat menjalankan agama secara ritualistik tanpa memahami maknanya. Ibadah dijalankan karena tekanan sosial, bukan kesadaran spiritual. Keberagamaan menjadi performatif — sekadar simbol kepatuhan agar diterima dalam lingkungan sosial.
Baca juga:
Kontroversi “Bayar Bayar Bayar”, Siapa yang Tentukan Batasan Kebebasan Seni?
Danantara dan Lingkaran Kekuasaan, Investasi Nasional atau Oligarki Berkedok Bisnis?
Serial ini juga menyingkap satu lapisan realitas lain tentang bagaimana religiusitas telah menjadi komoditas. Dalam masyarakat kontemporer, ekspresi agama kerap dikaitkan dengan popularitas, kekayaan, dan bahkan posisi politik. Ustaz dalam Bidaah tak hanya dihormati karena pengetahuannya, tetapi juga karena kekuasaannya dalam mengatur relasi sosial. Ia menjadi semacam “figur publik” yang memanfaatkan status religius untuk membangun jaringan ekonomi dan loyalitas politik.
Inilah yang dikritik oleh banyak sosiolog kontemporer: bahwa agama, alih-alih menjadi ruang pembebasan, justru dipakai untuk menciptakan standar sosial baru yang menekan kebebasan berpikir. Masyarakat terpaksa menyesuaikan diri, menekan keraguan, bahkan mengorbankan kebenaran demi kenyamanan dalam kelompok yang religius secara simbolik.
Yang menarik dari Bidaaah bukan hanya narasinya, tetapi juga keberaniannya mengajak penonton melakukan dekonstruksi terhadap hal-hal yang selama ini dianggap sakral. Dalam ranah filsafat, Jacques Derrida menyebut dekonstruksi sebagai upaya untuk membongkar teks atau wacana dominan agar makna-makna yang tersembunyi bisa terbaca. Serial ini secara naratif, melakukan hal serupa dengan membuka lapisan manipulasi di balik simbol suci.
Pertanyaan mendasar yang diajukan adalah: apakah kebenaran harus selalu datang dari atas? Sejauh mana individu boleh atau bahkan harus mempertanyakan tafsir agama yang diberikan oleh otoritas? Dan bagaimana menjaga iman agar tidak menjadi alat untuk menjinakkan nalar?
Menjaga Esensi di Tengah Distorsi
Bidaaah seakan menjadi cermin dari keresahan kolektif tentang bagaimana agama yang seharusnya menjadi sumber kedamaian dan pencerahan bisa diselewengkan menjadi alat ketakutan. Serial ini menegaskan pentingnya membedakan antara religiusitas autentik dan manipulatif. Agama yang mencerahkan lahir dari kebebasan berpikir, bukan dari paksaan; dari kesadaran mendalam, bukan dari tekanan simbolik.
Di tengah masyarakat yang semakin plural, refleksi filosofis dan sosiologis atas praktik keagamaan menjadi kebutuhan mendesak. Bukan untuk menolak agama, melainkan untuk menyelamatkannya dari penyalahgunaan agar iman tetap hidup dalam kejujuran.
*Opini ini sepenuhnya merupakan pandangan penulis dan tidak mencerminkan kebijakan redaksi Teropong Media.
(Dist)