BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Tari Sintren merupakan kesenian tari tradisional yang kental dengan mistis berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Tidak hanya sebagai kesenian tradisional, Tari Sintren juga mengandung unsur magis dalam pementasannya.
Oleh karena itu, Tari Sintren tidak boleh dipentaskan hanya untuk hiburan semata, melainkan harus dalam kerangka adat yang baku.
Dalam pementasannya, Tari Sintren dibawakan oleh penari yang mengenakan kostum khusus dengan ciri khas berkacamata hitam.
Sejarah Tari Sintren
Secara bahasa, Tari Sintren berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu “si” dan “tren”. Kata “si” merupakan ungkapan panggilan yang berarti “dia”. Sedangkan “tren” berasal dari kata “tri” atau “putri”.
Sehingga kata “sintren” memiliki arti “si putri”, yang dalam konteks tarian merujuk pada si penari.
Selain itu, Sintren juga diduga berasal dari kata “sindir” dan “tetaren”, yang berarti menyindir suatu pihak melalui tari-tarian.
Munculnya Sintren berkaitan dengan sosok Seca Branti, seorang abdi Pangeran Diponegoro yang berhasil melarikan diri ke daerah Indramayu. Saat itu, Seca Branti sering berkumpul dengan para pemuda untuk membacakan syair-syair perjuangan.
Lambat laun, aktivitas tersebut diketahui oleh Belanda dan dilarang. Belanda lebih menyukai kegiatan pemuda yang di dalamnya ada minuman keras dan wanita penghibur.
Untuk itu, kelompok pemuda bersama Seca Branti lantas menghadirkan wanita untuk menari di tengah-tengah mereka. Penari wanita ini hanya untuk mengelabuhi Belanda. Padahal, aktivitas utama tetap membacakan syair perjuangan melawan Belanda.
Dalam perkembangannya, aktivitas Sintren semakin digemari oleh masyarakat dan berkembang menjadi bentuk kesenian seperti saat ini.
Prosesi Tari Sintren
Dalam Tari Sintren yang kental dengan hal mistis ini terdapat pemeran utama yaitu penari perempuan yang masih gadis. Penari perempuan ini harus dalam keadaan suci, bahkan harus melakukan puasa sebelum pementasan.
Selain itu juga ada seorang awang atau dukun yang bertugas sebagai dalang Tari Sintren.
Awalnya, ki dukun akan membakar kemenyan dan membaca mantra, yang disusul tetabuhan dari musik pengiring.
Berikutnya, penari atau Nyi Putri yang sudah mengenakan busana khusus lengkap dengan kacamata hitam akan masuk dalam kurungan ayam. Prosesi masuknya penari ke kurungan ayam diiringi dengan syair “Turun Sintren”, yang merupakan mantra untuk memanggol roh.
Penari kemudian akan diikat seluruh tubuhnya dan dimasukkan ke dalam kurungan ayam. Saat ini diiringi syair “Bari Lais”. Lalu ki dukun akan membacakan mantra kepada penari yang ada di dalam kurungan seraya diiringi syair “Sih Solasih”.
Saat syair “Sih Solasih” dinyanyikan, penari di dalam kurungan akan melepas ikatan yang membelenggunya. Berikutnya, kurungan ayam akan dibuka. Saat itu ternyata penari sudah bisa lepas dari ikatan.
Nyi Putri akan mulai menari dan diiringi dengan syair “Widaderi Nger-nger”. Penonton akan heran bagaimana penari bisa melepas ikatan yang kuat.
Saat Nyi Putri sedang menari, para penonton akan melemparkan sesuatu ke arahnya. Biasanya yang dilempar adalah uang. Bukannya senang, penari justru jatuh pingsan saat dilempari uang.
Saat penari pingsan, ki dukun akan sigap menyadarkannya dengan mantra-mantra yang dibacakan. Setelah siuman, Nyi Putri akan kembali menari.
Prosesi diakhiri dengan gerakan Temohon. Gerakan Temohon yaitu penari akan mendatangi penonton yang hendak memberikan uang sebagai ucapan terima kasih.
BACA JUGA : Tari Seblang: Tradisi Sakral Suku Osing Banyuwangi
Makna Tari Sintren
Dalam prosesi Tari Sintren, ada dua hal yang menonjol yaitu kurungan ayam atau Ranggap dan uang.
Kurungan ayam yang berbentuk melengkung menggambarkan fase kehidupan manusia. Dalam hidup, ada kalanya manusia di atas namun ada pula saat-saat manusia di bawah.
Hal ini akan mengingatkan manusia terhadap dari dan kemana mereka berasal, atau yang oleh masyarakat Jawa disebut “sangkan paraning dumadi”.
Berikutnya adalah uang. Uang dilemparkan oleh para penonton saat penari sedang menarikan tariannya. Anehnya, saat dilempar uang penari justru jatuh pingsan.
Hal ini menjadi pengingat bagi manusia agar tidak terlalu mendewakan duniawi dalam hidup. Pingsannya penari mengingatkan penonton bahwa serakah terhadap dunia justru akan membuat manusia jatuh.
(Hafidah Rismayanti/Aak)