BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Desa Adat Kasepuhan Ciptagelar terletak di kaki Gunung Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan ketinggian 1.100-1.200 meter di atas permukaan laut. Desa ini berada di Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Lebak di utara, Kecamatan Kelapa Nunggal di timur, serta Desa Cicadas di selatan dan barat. Kampung Ciptagelar berjarak 14 km dari Desa Sirnaresmi, 27 km dari pusat kecamatan, 103 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi, dan 203 km ke arah barat dari Bandung.
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar memiliki ciri khas berupa lokasi dan bentuk rumah adat yang unik serta tradisi yang terus dijaga oleh masyarakatnya. Penduduknya dikenal sebagai masyarakat kasepuhan.
Istilah “kasepuhan” berasal dari kata “sepuh” dalam bahasa Sunda, yang berarti tua atau kolot. Kasepuhan merujuk pada tempat tinggal sesepuh, sekaligus menggambarkan sistem kepemimpinan adat yang berlandaskan kebiasaan para leluhur.
Awal Mula Kampung Ciptagelar
Kampung Kasepuhan Ciptagelar terbentuk melalui proses hijrah wangsit, yaitu perintah untuk pindah dari kampung sebelumnya, Ciptarasa. Beberapa bangunan penting seperti leuit si Jimat, pangkemitan, pangnyayuran, dan ajeng wayang golek turut dipindahkan.
Leuit si Jimat menjadi lumbung padi bersama yang digunakan oleh seluruh komunitas kasepuhan. Masyarakat mempercayai tempat ini sebagai lokasi bersemayamnya Nyi Sri Pohaci, simbol kesuburan padi.
Selain itu, pangkemitan berfungsi sebagai pos keamanan warga, sedangkan pangnyayuran atau pawon balarea digunakan sebagai dapur umum untuk kebutuhan konsumsi selama pembangunan kampung dan upacara adat. Ajeng wayang golek berfungsi menyimpan alat-alat kesenian yang dipakai saat upacara ngaruwat lembur.
Awalnya, wilayah Ciptagelar terkenal dengan nama Cikarancang, yang hanya terdiri dari lima hingga delapan rumah. Pada tahun 2001, nama ini diubah menjadi Ciptagelar oleh sesepuh girang melalui upacara selamatan kampung.
Nama “Ciptagelar” diambil dari nama akhir Abah Anom (Encup Sucipta), yang berarti menciptakan sesuatu secara terbuka. Nama ini mencerminkan sikap masyarakat Ciptagelar yang terbuka terhadap dunia luar tanpa meninggalkan adat dan tradisi leluhur.
Kehidupan Adat dan Tradisi
Mayoritas masyarakat Desa Adat Kasepuhan Ciptagelar mengandalkan hidup dari budidaya padi. Kehidupan adat mereka didasarkan pada kalender siklus padi, yang mencakup penghormatan terhadap Dewi Nyi Pohaci Sanghyang Asri.
Sebagai wujud penghormatan, hasil panen sebesar 10% disimpan di leuit, sehingga terdapat padi yang berusia ratusan tahun. Menurut kepercayaan setempat, menjual padi sama artinya dengan menjual kehidupan sendiri.
Kasepuhan Ciptagelar mengelola 568 kampung di bawahnya. Sejak tahun 1368, pusat pemerintahan kasepuhan telah berpindah sebanyak 19 kali berdasarkan wangsit yang diterima Abah, pemimpin adat.
Pada tahun 2001, Abah Encup Sucipta memindahkan pusat pemerintahan ke Gunung Karancang, yang kemudian dinamai Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar. Perubahan nama ini mencerminkan amanat leluhur yang harus dijalankan oleh pemimpin adat.
Pemanfaatan Teknologi
Meski menjunjung tinggi tradisi leluhur, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tidak menutup diri terhadap teknologi. Mereka justru memanfaatkannya untuk memperkuat budaya dan berkomunikasi dengan dunia luar. Salah satu inovasi yang mereka gunakan adalah sistem pengelolaan air yang terorganisir untuk irigasi persawahan.
Selain itu, kampung ini juga memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya dan turbin dari empat PLTMh untuk menghasilkan listrik. Hampir setiap bangunan di kampung ini telah dilengkapi panel surya.
Kampung Ciptagelar juga memiliki saluran televisi lokal, Ciga TV, yang mulai beroperasi pada tahun 2008. Saluran ini menyiarkan kegiatan masyarakat, lagu tradisional, dan edukasi lingkungan.
Selain itu, terdapat Radio Swara Ciptagelar yang menjadi sarana komunikasi penting. Radio ini sudah beroperasi sejak empat tahun sebelum berdirinya Ciga TV. Kasepuhan Ciptagelar juga dilengkapi jaringan internet hasil kerja sama dengan desa-desa sekitar, memungkinkan masyarakat untuk tetap terhubung dengan dunia luar.
BACA JUGA: 5 Desa Adat yang Memikat, Pesona Budaya Alam Labuan Bajo
Pendekatan Desa Adat Kasepuhan Ciptagelar menjadi bukti nyata bagaimana masyarakat adat dapat memadukan tradisi leluhur dengan kemajuan teknologi. Kasepuhan Ciptagelar juga bisa menjadi contoh desa adat yang mampu beradaptasi tanpa kehilangan kenaturalan dari kampung ini.
(Virdiya/Aak)