BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Anggota DPD RI Abdul Rachman Thaha (ART) mengatakan personel Densus 88 Antiteror Polri diduga memata-matai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus atau Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah, di sebuah restoran di Cipete, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu.
Dia mengaitkan tindakan anggota Densus 88 tersebut dengan demoralisasi yang jadi masalah serius di institusi kepolisian.
“Kerja-kerja kepolisian yang nyata eksesif, bahkan mengarah abusive, itu kuat mengindikasikan demoralisasi personel Polri,” katanya.
Menurutnya, demoralisasi tersebut terlihat pada derasnya kritik publik dan warganet terkait perilaku brutal dan kriminal jajaran Polda Jawa Barat dalam menangani kasus pembunuhan dan pemerkosaan sejoli Vina dan Eky oleh geng motor di Cirebon pada 2016 yang kini mencuat lagi.
“Demoralisasi skala tinggi itu tidak bisa dicermati sebagai persoalan oknum per oknum kepolisian. Saya kini melihat penggunaan sebutan ‘oknum’ tak lain sebagai exit strategy oleh institusi Polri dalam rangka berlepas tangan dari berbagai perilaku tidak proporsional, tidak profesional, dan tidak prosedural yang dilakukan oleh sekian banyak anggota korps Tribrata,” tuturnya.
Senator inisial ART itu bahkan mengatakan demoralisasi personel, bukan oknum, adalah masalah institusi Polri. “Itulah rumusan masalahnya,” kata dia.
Dengan masalah sedemikian parah, niscaya pimpinan tertinggi Polri harus muncul, bekerja, dan berbicara. Terutama, terkait adanya operasi gelap terhadap Jampidsus dan institusi Kejagung.
“Spesifik, tindak-tanduk bahkan operasi gelap ke gedung dan personel Kejaksaan Agung patut ditafsirkan sebagai dua hal. Pertama, tanda-tanda kegelisahan institusi Polri terhadap kerja penegakan hukum yang tengah Kejagung lakukan,” ujarnya.
Kedua,tidak efektifnya kepemimpinan Polri dalam mengendalikan organisasi Tribrata agar tidak menyimpang dari fungsinya semata-mata selaku pengayom masyarakat sekaligus penegakan hukum.
Mantan aktivis HMI itu mendesak pimpinan Polri segera bertindak untuk menyetop adanya operasi gelap terhadap Kejagung maupun Jampidsus Febrie Adriansyah.
“Pertama, pimpinan Polri harus selekasnya menghentikan kelompok-kelompok internal Polri yang berada di belakang operasi memalukan terhadap institusi dan personel Kejagung,” ucap ART.
Kedua, rancangan revisi UU Polri semestinya membendung peluang bagi terjadinya limpahan kekuasaan atau kewenangan hukum di institusi Polri. Selama kendali organisasi Polri masih tampak rapuh, ditambah tidak optimalnya fungsi dan peran Kompolnas, segala bentuk meraup kekuasaan dan kewenangan patut dicurigai sebagai gejala abuse of power.
Ketiga, ART berharap Menko Polhukam yang saat ini dijabat pelaksana tugas Tito Karnavian, bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengambil langkah luar biasa untuk memastikan Polri tetap berada di koridor hukum. Hal politik perlu dinetralkan.
“Namun, tanpa mengurangi hormat, saya teryakinkan bahwa Menko Polhukam dan Presiden memiliki kesiapan memadai untuk melakukan hal tersebut,” ucap ART.
BACA JUGA: Densus 88 Ungkap 142 Tersangka Teroris, Galang Dana Pakai Kripto hingga Yayasan Sosial
Selain itu, pihaknya juga menunggu pernyataan singkat dari presiden Prabowo Subianto. ART juga optimistis akan menciptakan status quo yang memadai hingga Oktober 2024. Setelah pelantikan presiden, dia berharap Prabowo mengambil langkah-langkah sebagaimana poin ketiga.
“Pada titik itulah saya akan mengamini perkataan Prabowo, ‘Bagi yang tidak mau bekerja sama, jangan mengganggu’. Termasuk potensi-potensi gangguan yang mungkin akan menyusup lewat ahli waris rezim yang berkuasa saat ini,” tutur ART.
ART juga menyemangati seluruh jajaran supaya istiqomah dalam menangani seluruh kasus.
(Kaje/Usk)