BANDUNG,TM.ID: Cuaca panas menyengat dalam beberapa hari terakhir terasa di Kota Bandung dan sekitarnya.
Berdasarkan Pantauan Teropongmedia.id, di Kawasan Lembang yang biasanya siang hari sejuk kini mulai terasa panas.
Badan Meteolorogi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), menginformasikan, suhu maksimum tertinggi pada tanggal 27-28 September 2023 pukul 07.00 WIB mencapai 37,9 derajat Celcius, mengutip akun Instagram resmi.
Sementara, dilaporkan Stasiun Meteorologi Kertajati, Majalengka, Jawa Barat, suhu maksimum terendah tercatat 35,2 derajat Celcius.
Peneliti Klimatologi Pusat Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mencontohkan, suhu maksimum di Bandung pada hari Rabu (27/9/2023) pecah rekor ke 33 derajat Celcius. Tertinggi sejak 3 bulan terakhir di bandara Husein.
BACA JUGA: BRIN Berupaya Kurangi Polusi melalui Modifikasi Cuaca Tanpa Hujan
Menurutnya, selama bulan September 2023, tercatat suhu maksimum melampaui 30 derajat Celcius selama 12 hari.
“Pada bulan Juli dan Agustus, sangat jarang suhu maksimum lebih dari 30 derajat Celcius. Padahal, posisi semu matahari berada di ekuator pada 22-23 September, sehingga menjauhi Bandung atau Jawa,” katanya dalam unggahan di akun X (Twitter) pribadinya, Jumat (29/9/2023).
3 Faktor Penyebab Panas
Erma Yulihastin juga mengungkapkan, tiga faktor yang menyebabkan suhu panas menyengat pada bulan September, yaitu:
Pertama, pada bulan September, kondisi clear sky atau langit tanpa awan lebih sering terjadi.
Meski awan Cumulus masih bisa terbentuk di siang hari, ujar Eerma, namun tipis dan segera meluruh. Hal ini efek dukungan kelembapan sangat minim sehingga pertumbuhan Cumulus sulit berlanjut.
Erma menerangkan, Sehingga radiasi gelombang pendek matahari terserap oleh atmosfer di permukaan lebih maksimal dibandingkan radiasi yg dipantulkan balik oleh awan ke angkasa dalam bentuk gelombang panjang.
Kedua, faktor perubahan iklim. Ini didukung data suhu selama dekade terakhir yang meningkat pesat di wilayah Indonesia, bahkan ada yang mencapai 4 derajat Celcius di bulan Juli, yang dianggap sebagai bulan dengan suhu global terpanas.
Ketiga, adalah El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang menyebabkan atmosfer minim awan sehingga lebih kering. Jika dibandingkan bulan Juli dan Agustus, saat itu masih sering terbentuk awan karena IOD positif belum eksis dan El Nino baru awal terbentuk.
Dengan semakin menguatnya El Nino dan IOD, kondisi minim awan dapat terus berlanjut pada bulan-bulan berikutnya. Apalagi, diperparah dengan pendinginan suhu permukaan laut di wilayah Indonesia yang semakin meluas.
“Kesimpulan, mitigasi harus dilakukan selama periode triwulan kedua kekeringan (September-November) di Indonesia,” tegas Erma.
Sebelumnya, Erma memperingatkan ancaman di balik clear sky. Efek ini, kata dia, harus diwaspadai karena akan memicu peningkatan dampak bahaya El Nino.
Berikut 5 ancaman bahaya efek clear sky, yaitu:
1. Energi radiasi (UV A dan B) intensitas maksimum dan durasi lebih lama diterima permukaan bumi
2. Suhu maksimum lebih tinggi dan lebih lama pada siang hari antara pukul 11-15
3. Kelembapan minimum atau kering karena El Nino dan IOD positif dialami oleh RI selama beberapa bulan mendatang
4. Polusi udara di Jabodetabek semakin lama bertahan karena pada kondisi clear sky terdapat lapisan inversi yang lebih tebal, sehingga polutan akan terjebak terus menerus di lapisan batas atmosfer
5. Panas dan kering memicu api yang menyala meluas dengan cepat dan sulit dipadamkan.
Seperti diketahui, Indonesia saat ini tengah mengalami 2 fenomena iklim, yaitu El Nino dan IOD positif. BMKG memprediksi, El Nino di Indonesia akan stabil di level moderat sampai Februari 2023, sedangkan IOD positif bertahan sampai akhir tahun 2023.
Akibat kedua fenomena ini, musim kemarau di Indonesia menjadi lebih ekstrem, artinya lebih kering dan berkepanjangan.
(Usamah)