BANDUNG,TM.ID: Kasus perceraian yang ada di Indonesia terus saja meningkat sejak tahun 2015. Terdapat 447.743 kasus pada 2021 dan semakin melonjak 15% jadi 516.334 kasus sepanjang 2022.
Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo menyebut, tingginya angka perceraian di Indonesia ini memberi dampak yang sangat buruk pada orang lain atau biasa disebut toxic people. Terutama dari pihak paling dekat yaitu keluarga.
“Angka perceraian tinggi karena banyak keluarga asalnya adalah orang toksik bertemu orang waras, orang waras bertemu orang toksik, atau orang toksik bertemu yang toksik juga. Akhirnya, berkelahi terus dan terjadilah perceraian,” ujarnya dalam keterangannya, Sabtu (28/10).
Menurut Hasto, pendidikan keluarga dengan pendekatan sangat penting dilakukan untuk menekan angka kasus perceraian. Dia juga mengingatkan, pembangunan keluarga merupakan fondasi utama kemajuan bangsa.
BKKBN mengartikan sebagai upaya untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas dan hidup di lingkungan yang sehat.
BACA JUGA: Waspada, Ini Hal yang Mendasari Terjadinya Kasus Perceraian
“Caranya banyak sekali dan kebijakannya itu dengan membangun ketahanan keluarga. Indonesia Emas 2045 menjadi tantangan serius, di mana tahun 2030 harus terlampaui dengan baik: tidak ada yang kelaparan, tidak ada yang miskin ekstrem, stunting-nya harus sudah turun jauh, dan pendidikannya harus bagus,” tuturnya.
Dia juga menambahkan, stunting dipengaruhi berbagai faktor. Namun, yang paling besar akibat pernikahan terlalu muda/tua, terlalu dekat jarak ibu melahirkan, dan terlalu banyak anak.
“Stunting itu menjadi momok bagi bangsa karena pendapatan orang stunting 20% lebih rendah dibandingkan yang tidak stunting. Sehingga, kalau kita ingin keluar dari pendapatan kelas menengah untuk menuju Indonesia emas, berat sekali kalau stunting-nya terlalu banyak,” katanya.
Pemberian air susu ibu (ASI) juga memberikan peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Sayangnya, pemberian ASI eksklusif atau hingga bayi berumur 6 bulan tanpa minuman/makanan lain masih di bawah 70%.
(Kaje/Usamah)