PANGANDARAN, TEROPONGMEDIA.ID — Di sudut Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, kabut pagi menyapu saung-saung pandai besi sederhana tempat para empu tradisional mengukir sejarah. Di sini, Bedog Pangleseran, golok kebanggaan masyarakat Pangandaran lahir dari tempaan tangan-tangan terampil yang mewarisi ilmu turun-temurun.
Lebih dari sekadar alat pertanian, setiap lengkungan bilah besi ini menyimpan cerita tentang ketangguhan masyarakat pesisir selatan Jawa Barat. Tradisi pembuatan Bedog Pangleseran telah menjadi denyut nadi budaya Desa Cintakara selama puluhan tahun.
Proses pembuatannya yang rumit memadukan teknik metalurgi tradisional dengan filosofi hidup masyarakat Sunda. Mulai dari pemilihan bahan besi berkualitas hingga ritual khusus sebelum pemakaian pertama, setiap tahap mengandung makna mendalam.
Encu, Sang Empu Bilah Bedog Pangleseran
Di bengkel sederhananya yang dipenuhi debu besi, Encu dengan cermat memilah-milah bahan baku untuk bilah Bedog Pangleseran.
“Saya dapatkan dari tukang rongsok, kadang saya yang cari sendiri,” ujar sang pandai besi, mengutip unggahan YouTube Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX.
Dengan mata yang terlatih, Encu bisa langsung mengenali kualitas bahan.
“Per (mobil) adalah bahan terbaik. Setelah ditempa dan disepuh pun, bahan ini tak mudah patah meski kena benturan keras,” katanya.
Pengetahuannya tentang logam diperoleh dari para leluhurnya secara turun-temurun. Ia menjelaskan perbedaan mencolok dengan bahan baja biasa.
“Baja kalau sudah disepuh lalu ditempa, pasti patah atau pecah,” ujar Encu.
Di tangan Encu, besi rongsokan berubah menjadi bilah Bedog Pangleseran yang terkenal kuat dan tahan lama.
Setiap pukulan martemnya tak hanya membentuk logam, tapi juga menjaga warisan leluhur yang hampir punah di era modern ini.
Memasuki usianya yang mulai senja, Encu merasa sedikit lega karena ada anak muda bernama Mumu Mulyana yang mau berguru dengan sungguh-sungguh kepadanya. Mumu bersungguh-sungguh ingin mewarisi semua ilmu tentang penempaan Bedog Pangleseran dari Encu.
BACA JUGA
Eksistensi Golok Cibatu Sukabumi dalam Bayangan Kepunahan
Mengenal Kearifan Lokal Majalengka Lewat Drama Silat Musikal Si Saron atau Jawara Ti Kuburan
Filosofi Bedog Pangleseran
Di tangan Atim, sang ahli perah atau gagang golok asal Cikalong, Pangandaran, sepotong tanduk kerbau bisa berubah menjadi mahakarya bernama Perah Sisingaan.
“Ini bukan sekadar gagang golok,” ujar Atim sambil memperlihatkan kuncung (jambul) di ujung perah.
“Ini perlambang Semar, sang penasihat bijak dalam wayang yang turun ke dunia membawa kebijaksanaan.” ungkapnya.
Yanto, kolektor bedog, membuka lembaran makna lebih dalam. Bilah melambangkan keterampilan, perah menyimbolkan hati dan pikiran, sementara sarangka (sarung) adalah aturan yang mengikat.
“Keselarasan ketiganya menciptakan keindahan sekaligus kearifan hidup,” tegas Yanto.
Panji Sisdianto, akademisi budaya, melacak jejak bedog dari zaman batu hingga kini. Dikatakan, awalnya bedog adalah perkakas praktis untuk bekerja, lalu berkembang menjadi senjata, hingga akhirnya dimuliakan sebagai pusaka.
“Bedog menjadi saksi bisu perjalanan hidup masyarakat, dari bertahan hidup hingga membangun peradaban,” terangnya.
Di balik kesederhanaan bedog Seking untuk pekerja, atau kemegahan bedog pusaka, tersimpan cerita tentang manusia yang tak pernah lepas dari tanah dan tradisinya. Setiap lekuk bilah, setiap ukiran perah, adalah puisi tentang kehidupan yang terus bergulir.
Kini, di tengah gempuran produk modern, Bedog Pangleseran tetap bertahan sebagai simbol identitas yang dibanggakan.
Bagi masyarakat Pangandaran, golok ini bukan hanya alat bekerja, tetapi juga penjaga warisan leluhur yang terus hidup dalam genggaman setiap generasi.
(Atep Abdillah Kurniawan)