BANDUNG,TM.ID: Dalam tiga bulan berturut-turut, es laut di Antartika ketebalannya menyusut mencapai titik terendah. Hal ini, menandakan bahwa kita sedang mengahdapi masalah serius.
Akan tetapi, manusia di muka bumi seperti tidak menyadari peringatan adanya masalah serius ini. Ilmuwan Miguel Angel de Pablo terlihat menyesali akan sikap manusia yang tampak tidak menyadari akan hal ini.
BACA JUGA: Lolly Pulang ke Indonesia Disambut Pacar, Nikitanya ke Mana?
“Kami (para ilmuwan) sangat khawatir … karena kami tidak tahu bagaimana kami bisa menyelesaikannya sendiri,” kata ahli geologi planet asal Spanyol, mengutip AFP di Pulau Livingston di Kepulauan Antarktika South Shetland.
Ia juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah mngirimkan banyak peringatan, tetapi masyarakat tidak menggubris akan bahaya yang akan terjadi. Alih-alih sadar, masyarakat justru menganggap peringatan tersebut hanya menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan.
Penyusutan es Antartika tersebut dilaporkan oleh Pusat Data Salju dan Es Nasional Amerika Serikat (AS) (US National Snow & Ice Data Center/NSIDC) pada Rabu (28/2/2024).
Dalam laporan data tersebut menyatakan bahwa, luas minimum es laut Antartika sekarang berada di bawah 2 juta kilometer persegi. Yang mana merupakan masa puncak musim pencairan musim panas di wilayah selatan.
Pencatatan yang dimulai sejak 46 tahun lalu, tutupan es laut pada tiga tahun terakhir merupakan yang paling rendah.
Peristiwa ini membuat pemanasan global semakin buruk serta mengekspos lapisan es tawar yang ada di darat. Dengan demikian, terjadilah peningkatan kenaikan air laut, bila mencair.
“Meskipun kita jauh dari wilayah yang berpenghuni di planet ini, kenyataannya apa yang terjadi di Antartika berdampak pada seluruh wilayah di dunia,” kata De Pablo.
Penelitian pada tahun sebelumnya menemukan bahwa hampir setengah dari rak es di Antarktika, yaitu lembaran es yang terhubung ke daratan, juga telah mengalami penurunan volume dalam 25 tahun terakhir.
Ini menyebabkan pelepasan triliunan ton air cair ke lautan. De Pablo menyatakan bahwa dampaknya tidak hanya terbatas pada permukaan laut, tetapi juga memengaruhi salinitas dan suhu laut.
Beberapa ahli berpendapat bahwa bukti mengenai dampak perubahan iklim terhadap pencairan es laut di Antartika, yang dikenal karena variasi tahunan yang signifikan dalam pencairan musim panas dan pembekuan musim dingin, kurang jelas dibandingkan dengan situasi di kutub utara Arktik.
Emisi gas rumah kaca menjadi masalah utama terjadinya pemanasan global yang berkelanjutan, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap pola-pola di masa depan.
De Pablo juga mengungkapkan bahwa upaya mengentikan tren ini sudah terlambat. Selama 16 tahun de Pablo telah mengabadikan hidupanya untuk mempelajari es Antartika.
“Masalahnya adalah degradasi ini tidak mudah diatasi,” katanya.
Bahkan jika ritme kehidupan masyarakat barat diubah, besok harinya gletser masih tidak akan berhenti terdegrasi dan tanah beku tidak akan hilang.
BACA JUGA: Hewan Salju yang Hidup di Kutub Utara
“Kita harus bertanya pada diri kita sendiri apakah cara kita menjalani kehidupan sehari-hari benar-benar bermanfaat karena pada akhirnya kita akan kehilangan planet kita,” kata De Pablo.
Ia juga berpesan bahwa tidak ada planet kedua di Bumi.
(Vini/Masnur)