BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWADS — “Baca itu gak penting.” Sebuah kalimat yang seringkali muncul sebagai candaan, sindiran atau bahkan membenarkan perilaku mereka yang sudah tidak tertarik pada literasi. Tapi apakah benar membaca itu memang tidak penting?
Di tengah derasnya segala sumber informasi yang datang dari berbagai arah, seperti TikTok, Instagram, hingga meme politik, membaca seringkali bukan jadi pilihan utama anak muda untuk memahami bagaimana kondisi dunia. Padahal, literasi bukan sekadar soal membaca buku, tetapi soal bagaimana kita dapat memahami, menerapkan, dan merespons informasi secara kritis.
Saya, Salwa Azzahra, seorang mahasiswi dari Universitas Indonesia Membangun (INABA) yang berdomisili di Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, memiliki alasan kuat untuk menolak kalimat “baca itu gak penting”. Pada 22 Mei 2025, saya mendapatkan kepercayaan sebagai Juara 3 Duta Baca Kota Bandung 2025, sebuah momen yang bukan sekadar penghargaan, namun membawa sebuah tanggung jawab yang harus saya lakukan.
Sebagai bagian dari advokasi saya, saya menginisiasi dua program utama:
1. LENTERA, yaitu (Literasi, Ekspresi, Teman dalam Rasa) Sebuah ruang literasi yang menyasar pelajar SD hingga SMA untuk mengembangkan budaya baca dan ekspresi diri melalui diskusi dan kegiatan kreatif.
2. Konten Literasi, yaitu konten edukatif berbasis digital yang membahas fenomena sosial dan politik secara ringan namun tajam, khusus untuk usia 18–24 tahun.
Kedua program ini hadir bukan tanpa alasan. Berdasarkan data dari Perpustakaan Nasional, Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Kota Bandung pada tahun 2023 ada di angka 64,77 poin (kategori sedang), menempati urutan ke-10 dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat.
Sementara itu, TGM (Tingkat Gemar Membaca) Indonesia pada tahun 2024 mencapai 72,44, meningkat lebih jauh dari 66,77 di tahun 2023. Ini memperlihatkan bahwa secara umum, minat baca masyarakat Indonesia sedang meningkat. Namun, meskipun tingkat kegemaran membaca di Kota Bandung meningkat sejak 2022, ternyata masih relatif lebih rendah dibanding rata-rata nasional. Ini justru jadi pemicu yang kuat mengapa program seperti LENTERA dan Konten Literasi sangat krusial untuk terus dilakukan di tingkat lokal agar jarak penyesuaian dengan tren nasional bisa segera dipersempit.
Kenapa ini jadi masalah?
Karena di era banjir informasi seperti sekarang, kemampuan literasi menjadi pegangan utama untuk memilah berita bohong, memahami isu sosial secara menyeluruh dan membuat keputusan yang cerdas baik di ruang kelas, media sosial, maupun bilik suara. Jadi, masih percaya “baca itu gak penting”? atau sebenarnya kita cuma belum menemukan cara membaca yang menyenangkan?
Melalui LENTERA dan Konten Literasi, saya percaya bahwa membaca tidak selalu soal buku tebal dan perpustakaan sunyi. Namun, membaca bisa lewat cerita, diskusi hangat, atau konten visual yang relevan asalkan esensinya masih sama, bisa membangkitkan kesadaran kritis dan rasa ingin tahu. Literasi bukan tugas individu saja, tapi kerja kolektif dari seluruh pihak, dan saya memilih untuk jadi bagian dari kerja itu.
Penulis:
Salwa Az-Zahra